Minggu, 03 Juni 2012

Maiyah: Komunitas Penembus Batas


Senin, 4 Juni 2012

Maiyah: Komunitas Penembus Batas

Oleh: Mohamad Istihori

Mayoritas masyarakat Indonesia lebih bangga dan percaya diri (pede) ketika gaya hidup (lifestyle) yang ia jalani sehari-hari diambil/bersumber dari Barat. Betapa bangganya seorang ayah jika anaknya berhasil kuliah di Oxford University. Gengsi ABG masa kini terasa naik beberapa level ketika ia sudah merasakan makan di McD, ke mana-mana nenteng-nenteng Black Berry.

Maka segala yang datang dari sana baik yang berupa makanan, pakaian, hiburan, bahkan pemikiran kini bukan hanya menjadi sekedar aksesoris eksternal belaka namun sudah mendarah-daging dan menjadi lifestyle kehidupan masyarakat Indonesia pada umumnya.

Namun tidak banyak dari kita yang tahu kalau di Indonesia ada sebuah komunitas yang menjadikan pengajian sebagai kekuatan jasmaninya. Sholawat sebagai bagian utama pengajiannya dengan tetap sesekali berdiskusi dengan tema multidimensi plus multiarah sebagai suplemen tambahan pertemuan rutin mereka yang bertujuan untuk memperluas wawasan keilmuan mereka.

Komunitas yang dimaksud ini adalah Komunitas Jama`ah Maiyah. Secara bahasa kata “Maiyah” sebenarnya berasal dari Bahasa Arab, “maiyatullah” yang berarti “bersama Allah”. Namun kata “maiyatullah” ini pada awalnya tidak mampu diucapkan dengan fasih oleh lidah orang Indonesia terutama lidah Jawa maka “kesandunglah” ia menjadi Maiyah.

Bibit gerakan Maiyah sendiri bermula pada tahun 1993 atas gagasan Adil Amrullah (adik Muhammad Ainun Nadjib) biasa diadakan pengajian di rumah Emha (demikian Muhammad Ainun Nadjib biasa disapa) yang berada di Jombang. Selain sebagai wadah silaturahmi keluarga besar Emha, pengajian tersebut digelar juga dengan tujuan sebagai upaya Emha sekeluarga menanggapi berbagai macam kondisi dan keadaan masyarakat sekitar.

Dari hari ke hari gerakan Maiyah ini meluas menjadi perkumpulan tingkat RT, RW, kelurahan, kecamatan, kabupaten, provinsi dan akhirnya meluas hingga mencakup tetangga-tetangga di luar Jawa Timur. Pada perkembangan gerakan Maiyah yang dimotori Emha dan Gamelan Kiai Kanjeng terus meluas. Setelah reformasi 1998 animo masyarakat terus bertambah dengan perkumpulan Maiyah. Maka digelar pula perkumpulan yang serupa di Jombang tersebut di Jogjakarta (tempat tingga Emha bersama keluarga intinya).

Jika di Jombang perkumpulan Maiyah itu bernama Padang Mbulan karena memang diselenggarakan setiap bulan purnama sebulan sekali, maka perkumpulan Maiyah di Jogjakarta ini bernama Mocopat Syafa`at. “Virus Maiyah” ini terus menjangkiti kota-kota besar di Indonesia. Maka lahirlah perkumpulan Maiyah di Mandar bertajuk Paparandeng Ate, di Surabaya bernama Bambang Wetan, di Semarang dikenal Gambang Syafa`at, di Jakarta ada Kenduri Cinta, serta di Malang juga ada Obor Illahi.

Uniknya pengajian Maiyah di mana pun ia berada bukanlah pengajian formal yang selama ini dikenal. Dalam pengajian Maiyah bukan hanya ada ustadz, pendeta, pastur, biksu, tokoh masyarakat, pimpinan Kafir Liberal, menteri, pengamen, boleh angkat bicara, mengemukakan pendapat, curhat, dan bicara apa saja sebisanya sesuai dengan pengetahuan mereka.

Di Maiyah sholawat oke. Nge-band boleh. Dangdutan nggak apa-apa. Baca puisi tetap diapresiasi. Marawisan, keroncongan, nge-jazz, dan segala macam produk peradaban manusia yang ada diizinkan tampil dan unjuk kebolehan. Durasinya pun di luar “kemampuan manusia biasa”. Maiyah biasanya dimulai setelah Isya, sekitar pukul 08.00 WIB sampai menjelang Shubuh, pukul 03.00 WIB.

Yang datang bukan hanya yang setuju. Yang tidak setuju secara pemikiran dengan konsep Maiyah pun boleh duduk berdampingan bersama hingga acara usai. Yang tidak datang malah justru adalah mereka yang sangat setuju dengan konsep Maiyah. Tapi jangan berharap ada konsep tunggal tentang Maiyah. Apalagi sampai terbesit dalam pikiran kita bahwa pada suatu hari Maiyah akan bermetamorfosis menjadi sebuah organisasi masyarakat.

Maiyah akan tetap menjadi suatu hal yang non-jasad. Ia selalu bersifat rohani. Ia akan selalu mengisi lubang di hati setiap manusia yang tidak puas dengan keberadaan negara, wakil rakyat, dan lembaga-lembaga modern yang ada saat ini.

Pada akhirnya, bermula dari perasaan penasaran pada Maiyah. Berlanjut pada mengikuti pengajian Maiyah secara rutin. Lalu mulai tertarik untuk mempelajari pemikiran-pemikiran serta apa saja yang didapat dari bermaiyahan, maka ia menggumpal menjadi gaya hidup (lifestyle) siapa pun saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar