Senin, 24 Desember 2012

Emha Kembali ke Rumah Pertobatan

28 Juni 1991. Kusimpan 21 tahun dlm almari arsip, kliping Bernas ini memberitakan “Emha Kembali ke Rumah Pertobatan”. Isinya saya sarikan sebagai kontemplasi & refleksi bersama jelang songsong 2013:

(1)
Jika Emha Ainun Nadjib membacakan puisi-puisinya di Gedung Purna Budaya, sesungguhnya itu merupakan langkah Emha untuk kembali ke “rumahnya”, yakni jagat sastra, khususnya puisi. “Sudah lama saya merindukan suasana kesenian, setelah cukup lama berkubang dalam persoalan sosial, politik, dan agama. Jiwa saya letih. Saya ingin kembali merebut diri”, ujar Emha. Kesanggupan Emha untuk berkiprah dalam Baca Puisi 21 Penyair Yogya FKY III lebih didorong utk “upacara” dg para penyair Yogyakarta. “Kalau saya berhitung soal honor, pasti saya menolak. Saya sangat paham FKY bertujuan utk apresiasi, bukan komersialisasi seni.”

(2)
“Tetapi sekarang ini yang saya protes adl diri saya sendiri, dosa-dosa saya sangat membuat saya malu. Saya sedang serius bertobat. Umur saya—waktu itu—hampir 40 tahun, ini semesteran terakhir saya untuk memperbaiki diri”. Bagi Emha, kesenian tidak ada yg bebas dari politik. Kesenian sesungguhnya lahir dari keputusan politik penyairnya. “Kesenian yg ingin menjauhi politik sesungguhnya merupakan kesenian yg berpolitik. Yakni kesenian yg mendukung dominasi politik yang ada. Sekarang ini kita tidak dapat terbebas dari politik. Lha wong harga Lombok saja merupakan hasil keputusan politik.”

(3)
Emha pernah mengkritik para penyair muda Yogya yg hidupnya melarat tapi berpuisi ttg anggur dan rembulan. “Penyair itu pasti tidak paham ttg konteks karya dg dunia yg diselaminya”. Jika Emha kembali berpuisi, tentu bukan karena ingin mengembalikan eksistensi kepenyairannya. “Saya tak pernah mempersoalkan eksistensi. Tapi esensi. Esensi dpt mewujud apa saja. Saya kembali berpuisi krn saya ingin mengabadikan berbagai esensi hidup yg saya cari selama ini."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar