Rabu, 19 Desember 2012

Mengembalikan Akhirat Sebagai Makanan Utama, Dunia Sekedar Lauknya

(catatan PadhangMbulan Nopember 2012)

Oleh Buletin Maiyah Jatim pada 19 Desember 2012 pukul 11:12 ·

Selepas Maghrib, suasana di kompleks makam Sentono Arum sudah mulai ramai berdatangan warga dan Jamaah PadhangMbulan, karena akan dilangsungkan Tahlilan untuk memperingati 100 hari wafatnya ibu Chalimah. Acara tahlilan sendiri berlangsung  dengan khidmat, penuh kushuk, hingga akhir pembacaan do’a yang langsung disambung dengan sambutan dari Cak Mif (Kakak Cak Nun), beliau menghaturkan terima kasih kepada Jamaah dan warga sekitar Menturo atas kehadiran dan partisipasinya dalam tahlilan tersebut. Cak Mif juga mengingatkan kita semua untuk mengumpulkan “sangu” dan “oleh-oleh” sebagai bekal untuk kembali ke rumah Allah, sudah cukup apa belum. Beliau juga mengingatkan bahwa tempat ini bukanlah tempat yang menakutkan lagi, tiap malam di tempat ini digunakan untuk tempat mengaji, belajar, bahkan tidur oleh anak-anak SMK Global.

Sambutan selanjutnya disampaikan oleh Cak Nun dengan mengutip dawuh Kanjeng Nabi : “Khoirul mauidhoti mautu”, Sebaik-baiknya nasihat adalah mati.  “Itulah yang menjadi salah satu dorongan dan alasan kenapa makam Ibu, Ayah, Embah dikumpulkan di sini, supaya anak putune  diberi nasihat setiap hari begitu melihat kuburan ini.”

Usai Tahlilan, warga Menturo satu-persatu meninggalkan Sentono Arum, sementara di saat bersamaan Jamaah PadhangMbulan mulai berdatangan. Sambil mengisi waktu senggang sebelum pengajian padhangMbulan dimulai, Mas Zainul, Vokalis KiaiKanjeng yang saat itu  ikut Tahlilan diminta Cak Nun untuk menirukan dan melantunkan sholawat : Ya Rasulallah Salamun‘alaik.. Ya Rofi’assyaniwad daroji.., Atfathayyaji rotal ‘alami, ya’uhailaljudiwal karomi, dengan nada dan irama baru yang diajarkan Cak Nun langsung. Jamaah sudah merapat, Cak Nun memimpin dengan ummul-Qur’an : “Jadikanlah malam ini sebagai malam terbukanya pintu-pintu masa depan yang berguna tidak hanya untuk jamaah PadhangMbukan, tapi juga untuk seluruh bangsa yang akan berproses di tengah kegelapan ini, ya Allah ‘ala hadan niyah assholihah, Al-fatihah…”

 
Tidak seperti biasanya, dimana sebagai segmen awal pengajian PadhangMbulan yang langsung diisi oleh Cak Fuad, namun malam ini Cak Nun langsung meminta Jamaah menyampaikan  pemikiran, pertanyaan, atau kegelisahannya untuk disharingkan kepada Jamaah lainnya. Yang pertama dari  Mas Imam Shodiqin dari kepanjen Malang, menyampaikan tentang keikutsertaannya pada pengajian PadhangMbulan yang sudah cukup lama, namun baru dalam satu tahun ini dia bisa mengaplikasikan ilmunya secara nyata. Ia merintis tradisi terbangan dan diba’an dikampung halamannya, dimulai dari anak-anaknya sendiri. Ia juga mengaku ternyata tidak mudah menjalankan seperti  PadhangMbulan ini, dari sekian lama bisa setahun ini keinginannya baru terealisasi, meskipun dalam skala yang kecil.

Cak Nun langsung merespon apa yang disampaikan Mas Imam tadi dengan mengajak kita untuk me-refleksi ke masa silam. Sejak sunan Kalijogo sampai awal-awal kemerdekaan itu begitu rupa masyarakat Indonesia, fokus makanan utama mereka adalah akhirat, sementara dunia hanyalah lauk dan sayur saja. Jadi dunia ini sebagaimana  Jawa merumuskan, “urip iku mung mampir ngombe”.

Hal ini  berlangsung hingga akhir tahun 50 sampai tahun 60-an,  seggone kita masih akhrirat. Tapi ketika tahun 70-an hingga sekarang  memuncak, manusia menipu dirinya sendiri dengan globalisasi, merubah dunia dijadikan akhirat, akhirat dijadikan dunia. Jadi makanan utama manusia modern adalah dunia. Dunia sudah menjadi tujuan utama, akhirat menjadi casing atau asesoris saja. Akhirat menjadi sekedar bumbu. Gejala ini menyangkut di semua bidang, di kebudayaan, pendidikan, politik, bahkan agama. Nah PadhangMbulan adalah upaya untuk tetap bertahan bahwa makanan utama kita adalah akhirat, makanan utama kita adalah Allah, bahwa di dunia kita bekerja, mencari nafkah, itu bukan tujuan tapi itu sebagai alat untuk bertahan sebelum Allah memindah kita kepada tujuan sebenarnya yaitu kematian. “Yang tadi Anda sebut diba’an, banjari, terbangan, sebenarnya kan salah satu proses mengembalikan akhirat lagi sebagai makanan utama yang sudah sekian lama menghilang, karena globalisasi, perjanjian perdagangan bebas internasional. Kita tidak mencari kebesaran dunia,  kita tidak mencari terkenal, besar, kaya, karena kebesaran hanya milik Allah maka kita tidak perduli mau 35 ribu orang, mau hanya 100 orang, kita tidak peduli, karena itu tidak ada hubungannya dengan tujuan hidup kita. Tujuan hidup kita adalah menasikan akhirat. Kapitalisasi itu boleh, yang bahaya adalah kapitalisme total dimana ada wilayah-wilayah yang seharusnya tidak boleh diperjualbelikan. Wilayah yang sangat berbahaya diperjual-belikan diantaranya adalah agama, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan. Sekarang 4 hal itu sudah diduniawikan, sehingga nilai-nilai agama hanya menjadi casing”, jelas Cak Nun.

Kharison, Jamaah dari Bojonegoro, menyampaikan tentang karakter, menurutnya besarnya suatu bangsa ditentukan oleh karakter masing-masing individunya.  Untuk itu ia berkomitmen untuk memperbaiki karakter  positif, yang dimulai dari dirinya sendiri untuk nantinya bisa ditularkan di lingkungan sekitarnya. Ia  merujuk pada QS al-Ashr yang intinya menghargai waktu, berpesan dalam hal kebaikan dan kesabaran.
Selanjutnya Ratih, jamaah perempuan dari Kediri, pada kesempataan ini dia bertanya kepada Cak Fuad mengenai kriteria wanita yang sholihah itu adalah yang seperti apa, kemudian ayat yang yang menerangkan tentang itu apa saja, sebagai bekal nanti ketika akan mendidik anak-anaknya kelak.
Cak Fuad merespon dan memulai urainnya terkait dengan “makanan akhirat” yang disampaikan Cak Nun tadi  dengan merujuk pada QS. Al-Qoshos 77 :

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.

Cak Fuad menjelaskan bahwa Allah itu sudah memberi kita apa saja, segala keperluan hidup sudah dipenuhi Allah, mulai dari kebutuhan jasmani,  hingga perangkat intelektual kita, maka pesan Allah dalam ayat itu “wabtaghi fiimaa aatakallahu, carilah di dalam segala sesuatunya yang Allah sudah menganugerahkan semuanya kepadamu itu,  yakni addarul akhirah, negeri atau kehidupan akhirat. Jadi memang orientasi hidup kita itu  seharusnya adalah akhirat. Lanjutan ayat tersebut, walatansa nashibaka mina addunya, tapi jangan lupa bagianmu di akhirat. Orang tua kalau memberi nasihat, kamu kerja apa saja semaumu, capailah karier setinggi-tingginya, asal jangan lupa sembahyang. Dengan memberi nasihat “jangan lupa sembahyang”, ini kan bisa berarti “jangan lupa akhiratnya”, seolah-olah yang menjadi fokus  utama usaha kita adalah dunia. Ini sebenarnya terbalik kalau kita ukur dengan ayat tersebut, dimana fokus pada ayat tadi adalah orientasi hidup di akhirat, tapi jangan lupa dunia.

Di dalam hadist mengenai niat, Rasulullah menegaskan bahwa niat itu penting, Niat itu adalah apa yang ada di dalam hati kita ketika kita mau melakukan sesuatu, sedang apa yang diucap mungkin hanya sebagai penguat saja. Yang dinilai oleh Allah bukan apa yang diucapkan tapi sesuatu menjadi  krentek di dalam hati kita, karena seringkali apa yang diucapkan berbeda dengan yang di dalam hati. Di dalam hadist itu Rasul bersabda : Innamal a’malu bin niyat, wainnama likullim ri’im ma nawa, sesungguhnya semua perbuatan itu dilihat dari niatnya, dan seseorang itu akan mendapatkan sesuatu berdasarkan  apa yang diniatkan. Famankanat hijratuhu lillahi warrasul, fahijratuhu lillahi warrasul, barangsiapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul, maka dia akan mendapat Allah dan Rasul.   famankanat hijratuhu li maalin, barangsiapa yang berhijrah karena ingin mendapat harta, maka dia akan hanya mendapat harta itu, wamankanat hijratuhu liimroatin, barangsiapa berhijrah karena mengincar wanita, maka ia akan memperoleh waanita itu, tapi  tentu saja tidak memperoleh Allah dan Rosul. Jadi orientasi ini yang barangkali harus terus menerus kita tata.

Cak Fuad membawakan  Firman Allah dalam QS. Al-Hadid ayat 20-23, yang dulu mungkin sering kita dengar, dibacakan oleh qori’ yang sangat terkenal tahun 70-an, bernama Nur Asyia Jamil, berasal dari Sumatra Barat.
  Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak-anak, (aulad atau anak-anak di ayat ini ada beberapa ulama yang menafsirkan sebagai para pendukung), seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani (Kuffar jamak dari Kafiir, makna yang paling umum adalah orang kafir, berasal dari kata kafaro, menutup, orang kafir adalah orang yang menutup kebenaran, kafir juga menutup atau mengingkari nikmat Allah, petani juga disebut kafir karena pekerjaannya menutup, yakni menutup tanah menjadi tanaman); kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.

Lebih jauh Cak Fuad menguraikan, bahwa dunia kita sudah dibalikkan orientasinya. Bahkan ketika kita berbuat baik, misalnya bersodaqoh pun kita balik orientasinya menjadi orientasi dunia. Shodaqoh itu kan Allah menjanjikan ketika kita menginfakkan  harta kita, maka Allah akan melipatgandakannya sebanyak 700 kali lipat. Tapi 700 ini kita pahami sebagai dunia, jadi kalau kita berinfak 100 juta, maka yang menjadi pikiran kita, kapan kira-kira akan menjadi 700 juta, dan kalau gak datang-datang  kita marah kepada Allah. “Maksud Allah dengan bilangan 700 itu adalah hitungan yang pasti di akhirat. Di dunia ini sekehendaknya Allah, terserah kita mau diberi berapa. Maka ketika kita berinfak jangan pernah berpikir bahwa dalam hitungan hari atau hitungan hidup di dunia kita akan memperoleh balasan 700 kali. Adapun kalau ternyata Allah nanti akan memberi 700 atau 7000 kali itu bukan menjadi sesuatu yang kita tagih di dunia. Berapapun yang Allah beri,  kita tetap ridho ikhlas bersyukur”, Cak Fuad melanjutkan, “Di ayat yang lain Allah berfirman (al-Mudatstsir ayat 6) :  “walaa tamnun tastaktsiir”, kalau kamu memberi jangan pernah berharap akan mendapat lebih banyak. Nah kalau kita ukur dengan duniawi sebagai tujuan utama dari amal-amal kita, tentu pikiran kita akan selalu menghitung-hitung, kita selalu membuat perhitungan kepada Allah, tapi sifatnya duniawi. Di ayat yang lain Allah mengingatkan, “Walal akhiroti khoirul laka minal ula”, bahwa kehidupan akhirat itu lebih utama daripada dunia.

Lanjutan surat al-Hadid tadi, yakni ayat 21 :
 Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan syurga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.

Menurut Cak Fuad, dengan ayat ini, bisa kita bayangkan seolah-olah Allah sedang menawarkan pemutihan. Seperti halnya ada seorang Gubernur beberapa waktu lalu yang menawarkan pemutihan pajak kendaraan bermotor, maka banyak orang berbondong-bondong mengurusnya. Begitu juga misalnya kalau dia memberi kapling tanah gratis kepada warganya, tentu saja semua akan berebut dan rela merasakan antrian yang sangat panjang. Tapi ketika Allah menawarkan pemutihan dosa-dosa kita, Allah juga menawarkan kapling syurga buat kita, kira-kira adakah diantara kita yang tergerak? Padahal yang ditawarkan Allah adalah ampunan dan syurga yang luasnya seluas langit dan bumi, tidak usah antri panjang, tidak perlu khawatir karena tidak kebagian. Tapi memang tidak banyak orang yang tertarik pada tawaran-tawaran ukhrowi seperti ini, karena orientasinya adalah dunia. Padahal itu adalah anugerah dari Allah, tapi memang ada syaratnya, yakni disediakan bagi orang-orang beriman kepada Allah dan Rasulnya.

Selanjutnya ayat 22 :

Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.

Mengapa kita perlu meyakini bahwa Allah Maha Tahu dan semuanya sudah tertulis, dijelaskan pada ayat selanjutnya, ayat 23 yakni :

Supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.

Kalau kita punya peluang yang sepertinya tinggal memetik dan ternyata lepas begitu saja, mungkin bagi  orang yang tidak beriman kepada takdir Allah bisa saja menjadi frustasi atau stress. Tapi begitu kita ingat dan percaya takdir Allah maka pikiran dan hati kita akan tenang. Demikian juga kalau kita mendapat suatu kesenangan maka tidak akan berlebihan dan berbangga diri.

Cak Nun melanjutkan pemaparan Cak Fuad, bahwa saat ini sebenarnya kita semua sudah  kapusan, kecelek, terkecoh, tertipu. Yang menipu kita adalah sekularisme, materialisme dan kapitalisme, salah menempatkan dunia, salah menempatkan akhirat. Setiap hari yang dicari dunia, tapi setiap hari mengeluh tentang dunia, semuanya mengeluh, pengusaha mengeluh, karyawan mengeluh, Bupati mengeluh, Presiden mengeluh. Dan semua keluhannya tentang dunia. Sudah mencari dunia habis-habisan, seluruh energi, waktu jiwa dan raganya dikerahkan untuk dunia, tapi isinya tertekan dan malah tidak mendapat dunia.  Cak Nun menjelaskan, sekularisme itu ketika dunia dipisahkan dari akhirat. Kalau dalam bahasa sosiologi, negara dipisahkan dari agama. Termasuk Islam yang berpenampilan alim-alim itu ternyata sekuler semua, kalau berbicara tentang sholat sudah mesti disimpulkan itu adalah soal akhirat, dan yang berhubungan dengan uang adalah mesti dunia. Beda dunia dan akhirat itu bukan terletak pada bendanya tapi terletak pada orientasi batinnya.  “Saya tidak pernah mencari dunia, makanya saya tidak pernah mengeluh tentang dunia. Begitu ada tempe, ia harus jadi anak buah saya yang  harus tunduk sama saya, mau saya anggap sebagai daging empal terserah saya.”

“Kita tidak bisa sambat oleh dunia, karena dunia sangat kecil dan rendah dibanding kita. kita tidak pernah mengejar-ngejar dan melamar apa-apa untuk mengadakan Maiyahan. Sekarang coba Anda cari perusahan, departemen, atau negara manapun yang bisa menyelenggarakan acara seperti ini setiap bulan di banyak tempat tanpa sponsor? Itu hanya bisa dilakukan oleh orang yang tidak mengejar dunia. Anda selama ini tertipu, rumangsamu kalau kamu mengejar dunia apa mesti mendapat dunia. Kalau kamu mengejar dunia, mungkin kamu mendapat dunia, mungkin saja tidak dapat, dan pasti tidak dapat akhirat. Tapi kalau kamu mengejar akhirat, mungkin saja kamu dapat dunia, tapi sudah pasti dapat akhirat.”  Cak Nun mencontohkan, ternyata kita bisa menjadikan uang 100 ribu menjadi akhirat. “Uang 100 ribu ditanganmu itu adalah dunia, tapi dunia yang ada di tanganmu itu bisa menjadi akhirat, tergantung pada niatmu dan mau dijadiakan apa uang itu.”

“Kita harus bisa menemukan akhirat di dunia. Tidak perlu kamu mencari dunia di dunia, karena dengan dunia tiap hari kita sudah berhadap-hadapan. Selama ini yang kita pahami dengan mencari akhirat misalnya adalah rajin Sholat. Sholat atau wiridan itu penting,  tapi ketahuilah, jangan sampai merasa ampuh begitu dirimu rajin sholat. Di dalam sholat kamu belum tentu baik, tiap hari kamu harus menegaskan beriman. Siang beriman belum tentu sorenya masih beriman. Maka dari itu, di dalam sholat kita dipaksa untuk mengucapkan ihdinasshirothol mustaqim karena setelah bener, bisa jadi kita berbuat salah lagi. Jadi tidak ada orang yang bisa meng-klaim dirinya sendiri adalah orang baik. Allah memaksa kita untuk mengucapkan ihdinasshirotol mustaqim karena Dia tahu persis telah menciptakan manusia itu dinamis. Keimanan manusia kadang naik kadang turun.”

Cak Nun mengisahkan ketika KH Imam Zarkasyi diminta Menteri Agama dulu,  untuk mengubah kurikulum Podok Pesantren Gontor, dimana menurut pemerintah saat itu kurikulum pesantren Gontor 70% agama, dan 30% umum. Yang disebut pelajaran agama menurut pemerintah adalah pelajaran Nahwu Shorof, Hadist, Balaghoh, dsb, sedangkan pelajaran aljabar, biologi, fisika, adalah pelajaran umum. Pak Zarkasyi menjelaskan bahwa disini 100% adalah pelajaran agama, tidak ada pelajaran umum. Pelajaran itu menjadi pelajaran agama atau pelajaran umum tidak tergantung pada materinya, tapi tergantung pada orientasi orang yang memegang pelajaran itu.

“Kalau pelajaran Biologi kamu pakai untuk menyadari, menginsyafi dan menjadikan dirimu terpesona akan kebesaran ciptaan Allah, maka pelajaran Biologi itu menjadi pelajaran Agama.”  Selama ini, lanjut Cak Nun, kita mengalami pembalikan dunia diakhiratkan, akhirat di duniakan, atau surga di nerakakan, dan neraka di surgakan. Sama halnya dengan Dajjal yang menciptakan suatu sistem nilai, entah kebudayaan atau politik yang membuat manusia mengejar surga padahal sesungguhnya itu adalah neraka.

Randahnya kualitas intelektual dan budaya bangsa Indonesia bisa kita  lihat di kios penjual Koran. Liat saja isi Koran, majalah dan tabloid sekarang seperti apa. Berbeda sekali dengan tabloid di tahun 70-an yang sangat jauh lebih mendidik, sifatnya lebih sebagai media intelektual, diskusi ekonomi, budaya, apresiasi  sastra. Kita mengalami penurunan budaya intelektual yang sangat parah, dan ini juga berarti kita mengalami penurunan sistem batin.  Cak Nun mencontohkan dalam dunia teather misalnya,  di era 70-an itu masih sangat marak. “Bukan masalah keseniannya yang penting, tapi orang saat itu masih mempunyai  gagasan tentang manusia. Meski tidak jelas kapan pentas, tidak jelas juga honornya masih tetap rajin latihan. Tahun 80-an tetap latihan asal jelas kapan pentasnya meski tidak jelas honornya. Tahun 90-an mau latihan asal jelas kapan pentasnya, dan jelas juga honornya berapa. Di tahun 2000-an hingga sekarang meski jelas pentasnya kapan, dan jelas juga honornya tapi belum tentu mau latiahn.  Dan ternyata semua mekanisme berkesenian saat ini seperti itu semua. Manusia sangat rendah kualitas dan derajatnya, kecuali orang Maiyahan PadhangMbulan”, puji Cak Nun.

Sebelum beranjak pada sesi diskusi selanjutnya, Mas Zainul memimpin sholawat yang diikuti oleh semua jamaah : ”.. Ya Rasulallah Salamun ‘alaik.. Ya Rofi’assyaniwad daroji.., Atfathayyaji rotal ‘alami, ya’uhailaljudiwal karomi..”

Kesempatan pertama, Jamaah yang Bernama Mas Sableng, membacakan penggalan syair puisinya, yang intinya mengajak kita mengamalkan Bismillah, “Bismillah urip mati dunyo pangkat mung kanggo golek ridhone gusti Allah ilahi Rabbi, ora ninggalake dawuhe kanjeng nabi.”

Selanjutnya Mas Aidil jamaah dari Sampang Madura, namun sehari-hari bekerja di Kepanjen dengan berjualan serbet. Ia tertarik dengan diskusi ini dengan panjang lebar menjelaskan  perkembangan Islam yang menurutnya banyak mengalami degradasi, atau penurunan, diantaranya degradasi moralitas, intelektual dan budaya. Ia bertanya, bagaimana caranya membendung ideologi Barat yang tidak bertentangan dengan nilai keislaman. Cak Nun langsung merespon dengan berpesan, “Jangan telalu tertipu oleh yang Anda pikir adalah kepandaian, misalnya istilah karakteritas, dan sebagainya. Kita jangan kecil hati dan jangan rendah diri dihadapan kaum akademisi yang seolah-olah terlihat pintar hanya karena meraka bisa menggunakan idiom-idiom yang bermacam-macam. Semakin Anda matang semakin Anda riil, semakin sedehana Anda melihat masalah. Kalau bisa buanglah itu tahayul-tahayul mengenai istilah akuntabilitas, aksebilitas, dsb. Nah di PadhangMbulan ini sudah lumayan terbiasa untuk tidak terjebak oleh kerendahdirian yang menganggap bahwa kaum akademisi dengan idiomatik-idiomatiknya itu adalah gambaran kepandaian. Kepandaian itu adalah kemampuan mengkalifahi keadaan, tanda orang pandai adalah mampu mengubah masalah yang complicated menjadi sederhana, tanda orang yang masih belajar adalah meruwet-ruwetkan masalah. Allah mungkin tidak melihat Anda, yang Allah nilai adalah cinta Anda kepada manusia dan Islam, dan itu sudah cukup untuk memasukkan Anda ke Surga.”

Selanjutnya Mas Rahman dari Surabaya, menyampaikan kegelisahannya sebagai konsultan perencanaan keuangan yang seringkali merasa dianggap sebagai antek kapitalis. Ia juga merasa diperlakukan diskrimanasi kecil-kecilan oleh temannya di komuitas BangbangWetan Surabaya, “sudah lama ikut Maiyahan kok yang diomongkan masalah duit aja, tiap hari bahas masalah kapitalis”, ujar mas Rahman, yang kemudian lanjut dengan pertanyaannya bagaimana sebenarnya  pakem atau prosedur memandang kapitalisme yang enak dan sesuai dengan semangat Maiyah.  Cak Nun menjawab langsung,  “Anda boleh menjadi kapitalis di wilayah sesuatu yang memang wajar dikapitalkan. Mengurusi keuangan itu tidak sama dengan kapitalis, apalagi kalau kita kembali ke sekularisme tadi kalau wiritan itu tidak mesti urusan agama, kalau masalah duit itu tidak mesti soal dunia. Kalau ada temanmu dari BangbangWetan bilang Maiyahan kok ben dino ngomong Kapitalis, Saya kira itu hanya guyon saja, masalahnya kamu itu tiap hari ngomong duit tapi gak pernah nraktir mereka, asline ngunu”, jawab Cak Nun yang disambut tawa Jamaah. “Sudah jelas orang tidak pernah pegang duit malah diomongkan duit, lama-lama ya mereka mangkel. Ini sebenarnya kan masalah psikologis, jangan dijadikan masalah intelektual. Pedoman kita jelas, kapitalisasi itu boleh di wilayahnya, kalau kasusnya pada sistem sosial kita harus hati-hati pada 4 wilayah yakni pendidikan, kesehatan, kebudayaan dan agama. Kalau untuk pribadi, misal kamu berdagang, mosok seluruh waktu hidupmu dihabiskan untuk berdagang? Kamu berdagang ya sesekali digolek’i akherate. Kalau di perusahaan ya harus kapitalis, yang mengurus perusahaan itu kan manusia, nah kalau manusia tidak hanya akan menghabiskan seluruh waktunya 24 jam sehari untuk kapitalisasi. Dia punya CSR (corporate social responsibility), punya perhatian khusus untuk kebudayaan, untuk agama, untuk karyawannya, dan sebagainya. Masalahnya sekarang CSR pun diakali untuk kapitalisasi, mengurangi kewajiban pajak dengan menggeser dananya untuk promosi.”

Gambaran wanita Solehah
Selanjutnya Cak Fuad menguraikan masalah soleh yang ditanyakan jamaah sebelumnya.  Cak Fuad menjelaskan bahwa Soleh itu cocok atau sesuai. Soleh itu baik  dan sesuai dengan sunnah Allah. Sunnah Allah itu misalnya adalah kalau orang mau dapat ilmu, harus rajin belajar, kalau mau mendapatkan penghasilan ya harus bekerja. Kalau dalam konteks wanita solehah sebetulnya sama dengan laki-laki soleh. Hanya saja wanita itu punya kedudukan khusus, sebagai istri, sebagai ibu, ukurannya tentu saja berbeda-beda. Ukuran kesalehan itu selain sesuai dengan sunnah Allah juga harus sesuai dengan tempat dan waktu. Oleh karena itu ukuran wanita soleh jaman dulu dengan wanita soleh sekarang berbeda. Kalau wanita sekarang dituntut untuk bekerja, sedangkan dulu tidak, meskipun ukuran solehah bukan ditentukan  bekerja atau tidak. Nabi mengatakan surga berada di telapak kaki ibu, terserah itu mau dimaknai seperti apa, bisa dimaknai sebagai tanggung jawab oleh Allah yang akan menentukan surga bagi anak-anaknya. Bahkan di dalam kehidupan dunia, ibulah yang menentukan apakah rumah bisa menjadi surga atau neraka bagi suami atau anak-anaknya. Rumah yang dijadikan sebagai surga oleh seorang ibu, maka anak-anak akan kerasan di dalamnya, sebaliknya kalau di dalam rumah itu dijadikan neraka, maka anak-anak akan berusaha mencari surga di luar rumah.

Cak Nun melengkapi penjelasan Cak Fuad mengenai wanita solihah. “Saya tidak pernah percaya bahwa semua hal bisa dilaksanakan dengan rumus-rumus baku. Allah memberi pedoman-pedoman dasar tetapi aplikasi sebenarnya tergantung pada manusia merundingkannnya bagaimana. Misalnya saja saya tidak percaya pada ungkapan bahwa seorang Istri harus mengabdi pada sang Suami. Dapurane wong lanang kok diabdi, mengabdilah kepada Allah. Kalau wanita mengabdi kepada Allah melalui kesantunannya dan penghormatannya kepada Suami itu  iya, tapi mengabdinya kepada Alllah. Kalau wanita punya posisi seperti itu, kenapa laki-laki tidak? Laki-laki juga mengabdi kepada Alllah melalui kesantunannya kepada Istri. Nah sekarang bentuk kesantunannya antara suami dan istri itu harus spesifik, tergantung pada perjanjian kesepakatan pra-nikah dulu. Apakah istri harus bangun tidur dulu, menyiapkan sarapan, membuatkan kopi, apa mesti harus begitu? Kalau itu dilakukan oleh suami memangnya kenapa? Kalau saya pribadi santai-santai saja. Saya sudah sejak dulu tidak pernah punya konsep menuntut istri untuk harus mengabdi kepada saya.  Mengabdi itu perlombaan hidup kok. Saya sama istri berlomba mengabdi kepada Allah, berlomba dalam fastabikul khoirot. Saya tidak pernah minta dibuatkan kopi, disediakan makan, saya tidak pernah menyuruh. Bahkan belanja sehari-hari pun kadang saya lakukan sendiri, aku masih gellem umbah-umbah dewe,  cuci piring, itu kan soal kerelaan”, Ungkap Cak Nun.

“Solehah itu tidak bisa dikhususkan pada gender, soleh atau solehah masing-masing orang berada pada posisinya berbuat sesuai dengan sunnah Allah. Kesolehan adalah kemampuan menuntut diri sendiri untuk sesuai dengan sunnah Allah. Orang seringkali selalu menuntut orang lain untuk sesuai dengan dirinya, padahal dirinya sendiri justru lebih tidak sesuai dengan orang lain, semua kok jadi Fir’aun, ini gimana?  Fir’aun itu artinya, seorang yang egosentris semua unsur alam semesta harus menyesuaikan diri dengan dirinya. Itulah yang membikin dia jauh dari kesolehan. Wong kita itu pekerjaannya menyatukan diri, nyawiji dengan Allah, dengan kata lain Tauhid, berarti salah satu aplikasinya adalah menyesuaikan diri dengan kehendak Allah, bukan Allah kita jadikan anak buah kita. Soleh itu sederhana tidak perlu dicari di sekolahan. Kita itu mendramatisir sekolah, kepandaian, padahal jika kamu mnegikuti nalurimu, mengikuti rasa atimu, mengikuti fikiranmu, itu sudah cukup. Fikiranmu itu kan regulator pemberi kejelasan tentang segala sesuatu.”

“Semoga Anda semua yang ada di PadhangMbulan semuanya yang pertama adalah mendapat kemudahan, bukan kepandaian.  Ini yang membuat manusia menderita, salah satunya  karena ada istilah kepandaian. Yang pandai  jadi sombong, yang bodoh jadi minder. Yang kedua adalah karena ada istilah   kalah-menang. Itu juga yang membuat manusia sekarang sengsara. Yang menang itu yang seperti apa? Kemenangan itu tidak usah diperhatikan, kemenangan itu bukan prestasi, yang prestasi itu Anda bekerja maksimal atau tidak. Kalau kamu bekerja keras, itqon, tekun, maka Anda bisa dikatakan sukses. Kemenangan itu terletak pada perjuangan, bukan pada hasil perjuangan. Kemengan tidak usah di-raporti, yang diraporti  adalah perjuangan dan kerja kerasnya, menang beneran itu tidak ada.”

“Hidup itu tidak ada menang tidak ada kalah. Anda menderita karena menilai  yang punya rumah besar dianggap menang, yang jadi Gubernur dianggap menang, yang tidak jadi dianggap kalah, Anda yang tidak jadi apa-apa dianggap kalah poll. Laopo sampeyan merepotkan atimu dewe? Jare sopo gak jadi opo-opo itu kalah? Maka secara naluriah,  saya membenturkan hidup saya secara radikal untuk tidak menjadi apa-apa. Supaya kalau saya ngomong ke Anda gak jadi apa-apa  itu tidak mesti kalah, dan saya ini tidak mau menang, apalagi kalah, saya transenden dari kalah menang. Ini yang membuat Anda menderita, kalah-menang, sukses-gagal, besar-kecil, sebisa mungkin hilangkan saja, tertawakan saja. Pedomannya jelas, saya kerja tekun, titik. Meski kadang ada perasaan nelangsa sedikit-sedikit tapi Jangan sampai tertekan habis-habisan.”

“Anda disiksa oleh berbagai salah sangka, kalau dalam Islam disebut dzonniyahDzonniyahnya manusia itu Terlalu banyak merepotkan dirinya sendiri sehingga memunculkan berbagai macam penyakit yang pada jaman dahulu itu tidak ada. Di tahun 70-an masih belum ada istilah stress, gagal ginjal, asam urat, diabetes, semuanya dulu itu tidak ada, tapi kok tetap kita berkeyakinan bahwa ilmu kedokteran itu bener. Sekarang sedikit-sedikit sakit, karena memang Anda semua dibikin mudah untuk sakit. Kamu pikir manusia itu bersih? Manusia itu sehat karena dia itu tidak bersih, ada cacingnya, ada bakterinya, ada racunnya. Begitu racunnya dihilangkan semua, Anda jadi steril sehingga cuma makan soto di pinggir jalan saja  langsung kena thypus”, Jelas Cak Nun.
  Degradasi Melalui Media
Di sesi akhir Cak Nun meminta mas Eko Nuryono dari Jogja untuk menceritakan degradasi melalaui media. Sebelumnya Mas Eko menjelasakan mengenai degradasi keunggulan manusia Jawa. Menurut Mas Eko, manusia Jawa itu akan luntur ajinya kalau melanggar 3 pantangan dasar, yakni gumunan, kagetan, dan dumeh. Orang Jawa sudah melanggar 3 pantangan dasar ini.  Tahun 70 Indonesia gencar dengan program bebas buta huruf. Itu adalah awal dari landasan dari idiologi kapitalisme. Ilmu dari Barat bisa masuk  dengan leluasa kalau semua bisa membaca. Begitu persoalan buta huruf sudah tuntas, maka gerbong doktrin Barat bisa masuk, melalui buku, melalui pendidikan dan sebagainya. Itu adalah salah satu cara  untuk mengubah pola pikir manusia Indonesia secara perlahan. Kita mengunyah habis ilmu-ilmu dari Barat, maka kemudian masuklah industri media, TV, Koran dan sebagainya. Apakah yang disajikan bermanfaat atau tidak, itu bukan persoalan, yang penting mereka mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya.

Kaitannya dengan media yang terjadi sekarang, kebanyakan  wartawan ditarget setiap hari harus ada 3 – 5 berita yang harus disetorkan ke redaksi medianya, dengan rotasi yang relatif cepat. Mungkin hanya ditempatkan selama 6 bulan di bidang budaya, besoknya sudah berganti di bidang ekonomi, besoknya lagi di bagian kriminal. Tiap hari harus setor, ada atau tidak ada peristiwa mereka harus bikin. Maka kecenderungannya, setiap hari wartawan itu datang, wawancara seperlunya, kalau narasumber sibuk, asal comot dengan versi mereka sendiri, untuk mengejar target. Bahkan ada beberapa wartawan kriminal yang untuk mencapai 5 target berita, 4 berita sebelumnya sudah mereka bikin, perkiraan, dialiog-dialognya, kronologisnya, kalimat bukaannya, sudah disiapkan sehingga ketika dilapangan, narasumber langsung dilakukan wawancara untuk menggiring dan mengiyakan kalimat yang sudah dibikin tadi, inilah disebut news interpretative-news. Polanya sudah sama, sehingga kadang-kadang wartawan menjebak narasumber untuk mengeluarkan statemen seperti yang ditulis wartawan itu sebelumnya. “Maka dari dulu saya selalu gojek dengan teman ketika ada berita dari Surat Kabar, saya tidak pernah percaya, namanya saja surat kabar, toh bukan surat kenyataan. Jadi surat kabar kan belum tentu benar, wajar saja antara isi berita dengan kenyataan itu berbeda”, ungkap Mas Eko.

Cak Nun menambahi, “Saya tidak terlalu enak untuk ngomong mengenai media massa karena saya sendiri sudah sejak lama tidak berurusan dengan mereka, dan saya memang cenderung menghindari wartawan, meskipun  3 bulan terakhir ini saya menulis lagi di media massa, hanya sebatas menulis, selebihnya untuk wawancara tidak akan saya lakukan. Misal acara diskusi syiah di Surabaya, di dalam berlangsung lumayan, diakhiri dengan sholawatan yang enak, pulang dengan tenang, tapi karena wartawannya berada di luar dan terdengar teriakan, terlihat gerumbul karena berebut salaman, maka diberitakan di media acara berlangsung kacau, bahkan diberitakan dibubarkan aparat”.  Selanjutnya Cak Nun mengajak kita untuk menambah nuansa spiritual sebelum PadhangMbulan malam ini diakhiri, dengan sholawat yang dipimpin mas Zainul.

[red-PB-Adhon].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar