Jumat, 17 Desember 2010

Bapak Pluralisme

Ahad, 051210

Bapak Pluralisme

Oleh: Mohamad Istihori

"Siapakah bapak pluralisme itu?" tanya Kiai Jihad kepada para santrinya.

"Gus Dur!" kata seorang santri.

"Cak Nur" jawab seorang santri lain.

Lainnya menjawab, "Cak Nun!"

"Ulil"

"Azyumardi"

"Komaruddin-lah yang pantas mempersatukan dan mampu mensinergikan berbagai macam perbedaan seperti di Indonesia." ujar seorang santri daerah dengan begitu yakin dan percaya.

Serta beragam jawaban lainnya. Setelah para santri kehabisan jawaban, ia melanjutkan dengan pertanyaan selanjutnya, "Kira-kira semua tokoh pluralisme yang kalian sebutkan tadi di atas bisa menghormati perbedaan secara luas atau tidak?

Apakah dalam kehidupan mereka memberikan kebebasan berpikir yang seluas-luasnya dan seluwes-luwesnya atau memaksa kita untuk mengikuti pemikiran mereka?"

"Lalu siapa dong Pak Kiai, bapak pluralisme yang sesungguhnya?" tanya Mat Semplur yang merupakan salah satu santri Kiai Jihad.

"Bapak Pluralisme yang sesungguhnya itu adalah Allah SWT." ujar KJ.

"Loh mengapa bisa demikian Pak Kiai?" tanya Semplur lagi.

"Sudah jelas-jelas Allah menyatakan dalam firman-Nya: Innaa kholaqnaakum syu'uubaw waqobaaila lita'aarofuu = Sesungguhnya kami telah menciptakan kamu sekalian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa tidak lain hanyalah dengan alasan agar kamu sekalian bisa saling mengenal, saling mencintai, peduli, bekerja sama, gotong royong, toleransi, saling menghormati, dan rukun.

Bukan malah saling memfitnah, menjelek-jelekkan satu sama lain, saling curiga, dan berebut kekuasaan di antara kalian."

Jadi demikianlah Allah menjadikan kita sebagai bangsa Indonesia ini dengan berbagai suku bangsa, agama, pemikiran, dan segala perbedaan yang ada.

Kalau Allah berkehendak niscaya Ia akan menciptakan seluruh yang bernyawa dan berada di dunia ini dalam bentuk/format seragam.

Namun tidak demikian dengan Allah. Perbedaan yang ada bukanlah sebuah alasan untuk berpecah belah, saling fitnah, tawuran, dan yang parah lagi ada segolongan manusia yang merasa bahwa mereka lebih mulia dan sempurna dibandingkan orang lain.

Dalam sebuah padang rumput, hiduplah di sana hewan-hewan pemakan rumput. Ada kambing, sapi, kerbau, bahkan unta. Mereka memang berbeda-beda tapi tidak akan ada cerita kambing kepengen banget menjadi sapi atau sapi kesemsem mau jadi kerbau.

Meski sapi sehari-hari bergaul, bersosialisasi, dan berinteraksi dengan kerbau namun sapi tetap menjadi sapi dan kerbau tetap menjadi kerbau.

Kalau ada sapi berjuang pengen kayak kerbau dan kerbau pengen jadi sapi karena iri hati maka kita sebenarnya belum siap menerima perbedaan.

Kalau manusia, baru aja kenal sama teknologi eksternal dari barat, baru aja makan makanan khas Eropa kemudian memanggil perempuan yang melahirkannya dengan panggilan Mammy, menyapa bapaknya pakai istilah Daddy.

Baru tiga bulan jadi buruh migran di Timur Tengah memanggil kedua orang tuanya Abi wa Umi. Itu tandanya bangsa kita adalah bangsa yang suka masuk angin.

Ada orang pake baju kuning dianggap pro Golkar. Lalu karena kita anggap dia berbeda dengan kita maka kita proklamirkan bahwa mulai saat itu juga ia adalah musuh bebuyutan kita.

Kalau dulu ada yang beda pemahaman agamanya dengan kita, ia kita bid'ah-bid'ah-kan. Sekarang kalau ada yang demikian kita kafir-kafirkan dan kita anggap ia sesat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar