Rabu, 30 Januari 2013

Revolusi, Media Massa (tanpa koma) Sop Buntut


Kegiatan Maiyahan beberapa bulan terakhir ini mengusung tema yang seolah-olah menjadi ‘tantingan’ (penegasan sikap) terhadap jama’ah Maiyah. Memang benar bahwa sampai saat ini gerakan Maiyah menganut ‘mahzab’ energi-isme sehingga dalam banyak tataran praktis, tidak me-materi-kan diri menjadi organisasi keagamaan,parpol, LSM atau apapun saja. Maiyah adalah forum ilmu, adalah laboratorium nilai, adalah ‘pabrik daur ulang’ sampah jaman dan pada skala nilai tertentu saya menemukan, forum Maiyah bahkan menjadi semacam RSJ (rumah sakit jiwa). Dan karena itu maka Jama’ah Maiyah dalam konstelasi politik nasional bukan apa-apa. Tapi menjadi ‘bukan apa-apa’ dan ‘tidak dianggap oleh siapa-siapa’ itu belum pasti juga merupakan suatu penderitaan. Tidak dihitung orang dalam konteks tertentu justru menjadi keuntungan dan malahan menjadi daya pegas yang dahsyat. Siapa menyangka Adolf Hitler seorang lelaki kurus dan ringkih yang sama-sekali tidak dihitung keberadaannya itu tba-tiba menjelma menjadi Dasamuka. Tidak ada pula yang meramalkan sebelumnya bahwa seorang Petruk alias Kanthong Bolong alias Thong-thong Sot itu bisa ‘munggah bale’ menjadi raja dan membuat malu habis-habisan Baladewa.

Beberapa contoh yang saya ambil sebagai analogi dan iktibar ini saya kira tidak lahir dari kekalutan psikologis dan emosional. Juga bukan dimaksudkan untuk ‘caper’ terhadap media sehingga nanti mengakumulasi menjadi potensialitas politik Jama’ah Maiyah agar mempunyai daya jual dan diperhitungkan dimasa depan. Bukan, 100% bukan itu kecuali memang sekedar semacam pengolahan cara pandang dan jenis sikap untuk menjaga keikhlasan dan konsistensi dalam menjalani apa yang diyakini dala kehidupan. Termasuk terhadap segala macam peristiwa dan aktifitas yang sampai hari ini menjadi arena pengolahan intelektual, emosioanal, mental dan spiritual dikalangan Jama’ah Maiyah.

Terhadap itu semua, yaitu titik pijak Maiyah diantara lalu lintas sistem managemen bangsa, maka Macapat Syafa’at 17 Januari 2013 yang lalu seharusnya menjadi ‘piyandel’ untuk menghadapi medan perang dimasa mendatang.

Dibuka dengan penayangan orasi budaya Cak Nun pada peringatan peristiwa MALARI di Jakarta pada tanggal 15 Januari 2013 kemarin, forum Macapat Syafa’at langsung ‘tancap gas’ masuk ke ruang diskusi. Pertanyaan dilemparkan. Kenapa momentum peringatan MALARI yang dihadari oleh banyak tokoh Nasional itu tidak diendus media? kenapa hampir sama-sekali tidak ada media yang mengamplifikasi kegiatan-kegiatan Maiyah? Kegiatan Cak Nun? kenapa media tidak berusaha melakukan investigasi mendalam terhadap seluk beluk  peristiwa reformasi 98 melalui -salah satunya- Cak Nun yang memegang banyak sekali berita ‘wingit’ dan terjamin validitasnya? Kalau anda berargumentasi “ itu karena kegiatan-kegiatan Maiyah dan kegiatan Cak Nun tidak bernilai berita”. Lalu saya bertanya, “ okey.., kalau demikian sekarang jelaskan kepada saya dimana dan nilai berita macam apa sehingga kisah perseteruan sepasang artis di blow up habis-habisan? dalam konteks sosial kemasyarakatan dan pendidikan sosial, apa korelasinya antara cerainya seorang artis dengan tumbuhnya nasionalisme dan pembangunan mental masyarakat? kemudian dengan landasan yang sama, tidakkah anda menemukan urgensi antara transformasi nilai-nilai kemanusiaan dan tumbuhnya rasa saling menghargai ditengah keragaman yang selama ini diusung oleh aktifitas Cak Nun dengan Maiyahan-nya?

Please…jangan menuduh saya sedang ingin menjilat Cak Nun dengan ini semua. Kalau anda menuduh saya demikian, itu artinya anda sama sekali ngawur dan tidak menggunakan pertimbangan ilmiah dan akal sehat yang sewajarnya. Pertama, karena Cak Nun sama sekali tidak butuh jilatan saya. Jangankan saya yang menjilat, wong ketua partai besar saja tidak mempan menjilat kok. Wong seorang presiden yang ketika itu sangat berkuasa, yang jangankan untuk menjilat, menurunkan menteri sehari 5 kali cukup dengan batuk-batuk kecil saja tetap gagal menjilat beliau kok! Kedua, karena memang saya tidak terlatih dalam hal jilat-menjilat. Misalnya harus pakai bagian lidah yang mana, iramanya seperti apa, dan sebagainya-sebagainya. Jadi saya tidak sama-sekali punya kemampuan untuk menjilat. Kalau berkelahi, sedikit-sedikit saya menguasai kemampuan karena ketika usia belasan saya pernah berlatih memukul dan menghindari serangan dengan sesekali tawuran. (jangan ditiru lho..ini contoh tidak baik).

Akhirnya refleksi atas perilaku para pemegang otoritas informasi terhadap aktifitas Cak Nun maupun geliat Maiyah dibeberapa daerah yang secara kontinyu maupun insidental itu menjadi bahan pembelajaran bersama. Perlu saya tambahkan bahwa ‘kasus’ yang dialami oleh Cak Nun ini sangat boleh jadi hanya satu dari beberapa kasus yang menimpa mereka para pejuang sejati bagi tegaknya martabat bangsa. Saya yakin masih ada beberapa individu atau kelompok meskipun dalam skala ‘kecil’ yang hingga kini tak lelah berijtihad untuk menyusun batu-bata bagi tegaknya Indonesia Raya yang sama sekali jauh dari hangar bingar media massa dan gemerlap selebritas layer tivi maupun koran dan gedung-gedung parlemen negeri ini.

Merespons penayangan ‘orasi’ Cak Nun dalam acara peringatan peristiwa MALARI tersebut, dari beberapa jama’ah kemudian diperoleh semacam simpul-simpul pemahaman, yakni bahwa itu semua terjadi karena adanya konspirasi global. Konspirasi global yang bertujuan untuk melakukan hegemoni terhadap segala aspek kekuatan dan potensi bangsa melakukan pelemahan kekuatan bangsa dengan cara membabat keberfihakan dan policy yang pro rakyat ditataran konstitusi maupun pada tingkat pelaksanaan pengelolaan praktik kenegaraan melalui berbagai tingkat birokrasi dan agen-agen lain.

Disinilah kita seterusnya menemukan peran media massa didalam mobilitas dan proses perubahan sosial. Sejauh ini, kalau kita cermati posisi media massa baru sebatas sebagai pendorong libido masyarakat terhadap hedonisme. Dengan konstruksi sedemikian rupa, masyrakat kita digiring untuk hanya menjadi masyarakat yang gemar berpesta dan menikmati dan pada saat yang bersamaan dijauhkan dari kepedulian terhadap problem-problem makro sebagai bangsa. Pada kesempatan diskusi yang dipandu oleh Mas Helmy dari Progress tersebut juga dikemukakan bahwa tujuan utama dari konspirasi global tersebut adalah: melemahkan Sumber Daya Manusia dan menguasai Sumber Daya Alam. Maka pada diskusi pembuka Macapat Syafa’at 17 Januari 2013 tersebut kemudian melahirkan semacam kesepahaman interpersonal (meskipun belum menjadi kesepakatan yang formal normative bahwa mulai sekarang Jama’ah Maiyah harus sungguh-sungguh mencari konfigurasi dan menegaskan strategi pergerakan Maiyah face to face  masa depan Indonesia.

Bertolak dari gagasan mengenai revolusi sebagaimana yang diwacanakan dalam peringatan peristiwa MALARI tersebut, Cak Nun menegaskan bahwa revolusi tidak akan efektif jika kita tidak punya landasan yang tepat mengenai peristiwa sebelumnya. Untuk itu kemudian Cak Nun mengajak jama’ah mencermati kembali momentum reformasi 98 dulu. “Pak Harto turun itu karena dia mau turun atau karena dia didesak untuk turun? Oke..sebut 3 faktor. Kurs, Kerusuhan, Demo Mahasiswa. Nah, kira-kira faktor mana dari ketiga ini yang paling utama membuat Pak Harto turun? Kalau soal kurs, apakah gejala inflasi itu bukan sebuah keniscayaan sebagaimana telah diselenggarakan (disengajakan) oleh desain global? Kemudian kalau karena faktor kekuatan mahasiswa, kira-kira seberapa kuat mahasiswa ? kenapa sekarang mahasiswa tidak bergerak menurunkan SBY ? seberapa kuat mahasiswa ? kira-kira lebih kuat siapa antara Soeharto dan SBY ? Kalau karena faktor kerususan, kita tahu pada waktu itu Pak Harto adalah One Man Show. Semua elemen kekuatan negara ada ditangannya. Secara kalkulasi politik, militer maupun pendekatan apasaja, Pak Harto akan sangat mudah menyelesaikan itu. Tapi, kita pokoknya hanya tahu kurs begejolak karena desain global lalu ada demo lalu ada kerusuahan kemudian Pak Harto turun.

Cak Nun lalu melengkapi penjelasannya, “ coba kita amati…, seluruh presiden didunia itu kalau dijatuhkan pasti dia diadili atau mencari suaka diluar negeri, tapi Soeharto? Maka Soeharto berkata kepada saya, “kalau cuma mahasiswa saya tidak takut tapi kalau rakyat yang ngamuk, saya tidak kuasa dan saya bersedia untuk turun”, demikian Cak Nun menguraikan.

Malam itu kembali Cak Nun melakukan kilas balik terhdap saat-saat penting menjelang dan bebrapa hari pasca Soeharto turun. Bahwa pada tanggal 16 Mei 1998 diadakan rapat 5 orang, yaitu: Cak Nur, S. Drajat, Utomo Dananjaya, Malik Fajar dan Muhammad Ainun Nadjib ( Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun ) yang berdiskusi untuk memberikan opsi kepada Soeharto mengenai bagaimana teknis dan tatacara pengunduran diri agar tidak sampai menimbulkan gejolak yang secara ekstrem yang dapat mengganggu stabilitas keamanan nasional.

“ Ada 4 opsi yang kami tawarkan kepada Soeharto. Tanggal 18 mei (pagi) kita serahkan surat itu, jam 4 sore diserahkan surat itu kepada Pak Harto, kemudian malamnya Pak Harto menyatakan turun tapi, “temani saya agar tidak terjadi bentrok’, kata Pak Harto ketika itu.

“Tapi semua fakta ini tidak diketahui oleh media sehingga tidak mungkin akan ada revolusi. Bahkan banyak orang tidak rela terhadap kehadiran saya dalam peristiwa itu.”.

Dalam Macapat Syafa’at malam itu Cak Nun juga mengungkapkan secara detail dan rinci soal bom yang dipasang di beberapa titik penting di Jakarta yang sewaktu-waktu bisa diledakkan untuk mengantisipasi agar tidak sampai terjadi gerakan massa masuk istana.  “ yang pegang ‘remote control’ bom itu tinggal memantau dan mencermati ‘tengoro’ (tanda-tanda) dari Sang Jenderal Besar. Satu, apakah Pak Harto tiba-tiba pingsan, Dua, Pak Harto diam lebih dari 1 menit, dan Ketiga, Ada kode.

Tapi kemudian banyak orang tahu, sebagaimana yang disiarkan media massa dimana-mana, ternyata Pak Harto berkata : “tidak jadi presiden yo ora pathéken”.

(Liputan dari Forum Macapat Syafa’at 17 Januari 2013. Mohon maaf bila terdapat kesalahan. Mohon diralat dan dikoreksi bila ditemukan kekeliruan dalam segala substansinya).

Ladrang Rampak Panuluh

Friday, Jan 25, 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar