Rabu, 04 Februari 2015

Jangan Berdebat Mengenai Doa yang Dikabulkan

KC Januari 2015

Cahaya di Atas Cahaya

Cak Nun memperkenalkan kepada Kita / Penulis tentang konsep “Nuurun ‘alaa nuurin” dalam perspektif yang berbeda.
Membaca Surat An Nuur ayat 35 membuat rasa penasaran saya terhadap konsep Cahaya dalam Islam. Ayat ini merupakan salah satu ayat favorit saya dalam Al Qur’an. Selalu menemukan sesuatu yang baru setiap saya mencoba kembali menelaahnya lebih dalam. Begitu indahnya Allah menyusun kalimat-kalimat dalam ayat ini, membiarkan kita untuk menyelami setiap jengkal kata bakan hurufnya untuk menemukan informasi-informasi yang baru.
Secara terjemahan kata, ayat ini menjelaskan bahwa Allah adalah sebuah Cahaya yang agung, yang menerangi langit dan bumi. Cahaya Allah ini buakn sekedar Cahaya biasa seperti yang kita lihat, seperti cahaya lampu senter misalnya. Cahaya yang dihasilkan lampu senter akan meredup pada jarak tempo tertentu, bahkan ketika dihadapkan pada sebuah tembok, cahaya tersebut tidak akan tembus ke belakang tembok. Hal ini tentu sangat berbeda dengan apa yang dimaksud dengan “Allahu nuuru-s-samaawaati wa-l-ardhli”.
Cak Nun memperkenalkan kepada saya tentang konsep “Nuurun ‘alaa nuurin” dalam perspektif yang berbeda. Dalam pemahaman beliau, An Nuur ayat 35 adalah sebuah cermin bagi diri pribadi setiap manusia. Ayat ini menerangkan bahwa dalam diri manusia terdapat hati dan akal fikiran. Hati digambarkan sebagai misbaah, sedangkan az-zujaajah dalam ayat ini adalah perumpamaan akal fikiran. Sedangkan manusia itu sendiri digambarkan dalam perumpamaan misykaat. Anda boleh saja memiliki penafsiran yang lain tentang An Nuur 35 ini, namun saya merasa cocok dengan penafsiran Cak Nun.
Ketika seseorang melakukan perbuatan baik, kebanyakan mengatakan bahwa itu merupakan hasil output dari hati kecilnya. Benarlah bahwa hati kecil tidak pernah berbohong. Namun sangat sedikit yang mau mengakui dan menyadari bahwa hati manusia sebenarnya membutuhkan akal fikiran yang sehat untuk membatasi kemauan dalam hatinya. Seorang lelaki mampu mencintai perempuan yang lain meskipun ia sudah beristri, namun dengan diimbangi akal yang sehat, ia akan memutuskan untuk tidak melangkah lebih jauh menyikapi perasaan tersebut kepada perempuan selain istrinya itu. Seorang pegawai ketika ditawari kenaikan gaji, hatinya tidak akan menolak. Namun, pada saat yang bersamaan akalnya akan mengimbanginya dan melontarkan pertanyaan, apakah kenaikan gaji tersebut sesuai dengan prosentase kinerjanya di tempat ia bekerja?.
Sifat kepemimpinan manusia terletak pada akalnya, sedangkan potensi bahaya pada diri manusia juga sebenarnya terletak dalam hatinya. Disinilah manusia ditantang untuk mengatur bagaimana antara akal dengan hati bersambung satu sama lain, sehingga apa yang dia lakukan merupakan output hasil dari pertimbangan akal fikiran dan hatinya.
Sebaik apapun yang output dari dalam hati manusia, jika tidak diimbangi dengan akal fikiran maka justru akan menghancurkan manusia itu sendiri. Disinilah fungsi akal sebenarnya. Allah menganugerahkan akal kepada manusia agar ia mampu mengatur ritme pergolakan dan gejolak dalam hatinya. Al misbaahu fii-z-zujaajah, sebuah perumpamaan dimana hati berada dalam pengawasan akal fikiran. Secara mudahnya adalah seperti sebuah lampu bohlam, cahaya yang dipancarkan oleh lampu diatur sedemikian rupa dengan keberadaan kaca yang membungkus sumber pemantik cahayanya. Ketika kaca tersbeut pecah, yang terjadi justru lampu tersebut tidak memancarkan cahaya.
Kondisi serupa sangat mungkin terjadi dalam diri manusia, apabila akal fikirannya tidak dalam keadaan sehat, maka ia tidak akan mampu mengontrol apa yang ada dalam hatinya. Sehingga, sebaik apapaun output dari hati manusia apabila tidak diimbangi dengan akal fikiran yang sehat, maka justru menghasilkan output berupa energi yang negatif. Maka “Tombo ati iku ono limo perkorone” adalah benar adanya. 5 obat hati itulah yang kemudian membantu manusia dalam menyeimbangkan fungsi hati dan akal fikirannya.
Ketika manusia sudah mampu menyeimbangkan dan menyelarasakan fungsi hati dan akal fikirannya, pada akhirnya ia akan menghasilkan output yang positif. Keseimbangan dalam penyelarasan fungsi hati dan akal fikiran dalam diri manusia digambarkan dalam “Az-zujaajatu kaannahaa kaukabun duriyyun yuuqodu min syajarotin mubaarokatin zaytuunatin laa syarqiyyatin wala ghorbiyyatin”, seakan-akan seperti bintang yang bercahaya, laksana mutiara yang dinyalakan oleh sebuah minyak zaitun, yang dihasilkan oleh pohon yang memberikan manfaat bagi sekitarnya. Ketika manusia sudah mampu mencapai titik ini, ia laksana sebuah pohon zaitun itu sendiri, yang memberikan manfaat bagi lingkungan sekitarnya tanpa ada pengaruh timur atau barat, tanpa ada pengaruh kanan atau kiri.
Pada puncaknya, manusia akan mencapai “yuudhli’u walaw lam tamsashu naarun”, ia akan menyala tanpa ada pemantik yang menyalakan. Ia akan melahirkan sebuah ide tanpa harus memikirkannya terlebih dahulu. Ia akan menghasilkan sebuah rencana yang matang, tanpa melewati proses yang panjang. Hidayah dari Allah akan masuk kedalam diri manusia tanpa ada pemantik dan tanpa ada penghalang apapun.
Jika menarik sebuah benang merah dalam kehidupan manusia, ada beberapa penyakit hati yang berpotensi merusak akal fikiran manusia; dengki, hasad, iri, curang dll. Penyakit-penyakit inilah yang kemudian membuat hati manusia tidak mampu dikendalikan dan diimbangi oleh akal fikirannya sendiri. Sehingga “zujaajah” yang seharusnya melindungi “misbaah” tidak berhasil menjalankan fungsinya, ia meleleh akibat penyakit hati yang masih mengendap dalam hati manusia. Sehingga yang terjadi adalah, manusia membutuhkan motivasi dalam melakukan sesuatu. Ketika ingin berbuat sesuatu, ia membutuhkan dorongan, bukan hasil dari kreatifitas akal fikirannya sendiri.
Konsep “Nuur” dalam Islam sejatinya sangat detail, dalam ilmu Tasawuf Cahaya yang paling dicintai oleh Allah swt adalah Nuur Muhammad. Bahkan dalam sebuah hadits qudsi, Allah menyatakan “laulaaka ya Muhammad, maa kholaqtu-l-aflaaka”, jika tidak karenamu ya Muhammad (Nur Muhammad), tidak aku ciptakan alam semseta ini. Bahwa sejatinya, ada Cahaya di atas Cahaya.
Sekali lagi, konsep dan penafsiran An Nuur 35 ini bisa saja berbeda dengan apa yang anda temukan di literatur lainnya, pada hakikatnya Allah selalu mengingatkan kita untuk terus berfikir, untuk terus belajar. Semoga apa yang saya tulis ini mampu memberikan informasi tambahan yang bermanfaat bagi anda yang membacanya.

Sumber: https://www.facebook.com/maiyahtuban/posts/761922390558178

Ilmu Batas

Manusia mengolah kemerdekaan justru agar ia mengenal keterbatasan-keterbatasanya. Manusia diamanati wewenang, justru agar mengerti batas wilayah dan waktunya.
---emha ainun nadjib---

Kamis, 13 November 2014

Babi Ngepet Tingkat Nasional, Penjaga Lilin Level Internasional

Oleh: Mohamad Istihori
Pagi ini, Jum`at, 14 November 2014, kampung saya dihebohkan dengan tersiarnya kabar penangkapan seekor babi di kolong jembatan tol Jagorawi. Banyak masyarakat yang kemudian memprediksikan bahwa babi yang tertangkap ini bukan babi biasa, tapi merupakan babi ngepet.

Entah benar atau tidak namun secara psikologis hal ini menunjukkan bahwa masyarakat kita sekarang ini begitu mudahnya mengambil kesimpulan tanpa harus melakukan “tabayyun” terlebih dahulu. Dan, secara sosiologi sebenarnya fenomena ini menunjukkan bahwa sebenarnya masyarakat kita sangat gemes dengan segala bentuk dan fenomena “babi ngepet” yang selama ini telah merampok uang rakyat.

Karena untuk menangkap “babi ngepet” tingkat nasional ini sangat susah dan amat panjang proses hukumnya, maka begitu mereka berhasil menangkap seekor babi di pinggiran jalan tol mereka pun segera mengambil kesimpulan bahwa yang telah mereka tangkap itu merupakan seekor babi ngepet beneran.

Di tingkat negara KPK sebagai lembaga yang kita harapkan selama ini untuk mampu mengatasi pertumbuhan pesat “babi ngepet” tingkat nasional tampak kelabakan. Kalau pun KPK tidak pandang bulu dan bersungguh-sungguh menangkap jenis “babi intelektual” ini maka itu pun dibutuhkan waktu puluhan tahun.

Bang Ucok (Sepenggal Kisah Seorang Perantau Cinta)

Oleh: Mohamad Istihori
Hari ini saya sungguh merasa sangat terkejut. Bagaimana tidak karena seorang sahabat lama tiba-tiba menyapa saya via wall facebook Berita Madani yang biasa saya moderatori selama ini. Ternyata ia adalah Arwin “Ucok” Nasution.

Dalam salah satu postingan facebook Berita Madani itu, pemuda asal Medan itu menanyakan kabar saya dengan menulis, “kawaN APA KABAR??? Lama tak ada beritanya. No hp ente dah gk aktif, sms atau kabari ke no hp sy ya kawan di 0813-xxxx-2232.”
Setelah tahu kembali nomor kontak masing-masing, kami pun berbalas SMS. Setelah saling memberi salam dan bertanya kabar, saya tanya Ucok lagi sibuk apa sekarang? Eh dia malah menjawab: “Sibuk cari jodoh!!!”

Saya candain dengan membalas: “Hari gini?? $ibuk cari jodoh !!! Orang-orang mah dh sibuk ngurus anak! :)”
Jodoh itu memang rahasia Tuhan yang sangat penuh dengan misteri sekaligus mengasyikkan. Ada orang lama kenalan, begitu nikah sama orang lain. Ada yang begitu kenalan langsung nikah. Eh sampai hari ini nasib Ucok belum kedua-duanya, ama yang udah lama kenal dan ama yang baru kenal belum juga nikah. Asyek!!!

Rabu, 28 Agustus 2013

Manusia Pecinta dan Manusia Pekerja



Yayasan al Hidayah, 29 Agustus 2013

Dalam ajaran Islam kita tidak diperkenankan melakukan sesuatu kecuali diawali dengan lafadz Basmalah (Bismillahir rohmaanir rohiim). Selama ini kita memahaminya selewat saja tanpa ada usaha untuk memahami, mendalami, menyelami dan menafsirkan lebih dalam ajaran tersebut.

Banyak ajaran yang dikira hanya peristiwa Fiqih saja padahal bisa jadi ia juga merupakan peristiwa Psikologi. Ini dikarenakan banyak orang mengira Fiqih itu pelajaran agama dan Psikologi adalah pelajaran umum. Padahal sebenarnya tidak ada ilmu yang tidak agama. Semua ilmu adalah pelajaran agama karena ia berasal dari satu sumber yaitu yang telah menciptakan agama untuk semua makhluk.

Dalam perkara ini kita sudah tertipu oleh mereka yang berusaha memisahkan ilmu secara keseluruhan menjadi ilmu yang terpecah-belah. Namun saya tidak akan memperpanjang perihal keterpecahan ilmu yang dialami umat masa kini.

Dalam ilmu psikologi kita tidak boleh mengerjakan sesuatu yang tidak kita cintai. Kalau kita bekerja tapi hati kita mangkel nan ngegerundel maka lama kelamaan ia akan berdampak negatif bagi kesehatan jiwa kita.

Selasa, 20 Agustus 2013

Mata Kaki Harus Menempel?



By : Hanif Luthfi, S.Sy. 10 August 2013


Bukan hal yang aneh kalau sebelum shalat, pak imam mengingatkan para jamaah sambil memeriksa barisan, ”Mohon shafnya dirapat dan diluruskan”.

Tapi pernahkan berdiri di samping Anda jamaah yang suka memepet-mepetkan kakinya ke kaki Anda? Bahkan hampir menginjak anda atau kaki jamaah lain?

Kalau Anda pernah mengalaminya, dan agak merasa risih, terus terang Penulis juga pernah mengalaminya. Dan ternyata tidak sedikit mereka yang mengalami dipepet-pepet seperti itu.

Sampai ada seorang jamaah di satu masjid curhat kepada penulis,”Pokoknya saya tidak mau shalat di samping dia!”, katanya. ”Kenapa?” tanya Penulis. ”Kakinya itu lho, masak saya dipepet-pepet terus sampai mau diinjak. Shalat saya malah jadi tidak khusyu’.”

Beberapa hari yang lalu, Penulis ditanya seseorang tentang hadits keharusan saling menempelnya mata kaki, sebagai bentuk kesempurnaan shaf. Katanya haditsnya shahih diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya. Dan ternyata memang hadits inilah yang disinyalir menjadi pijakan teman-teman yang beranggapan bahwa kaki harus benar-benar nempel dengan kaki jamaah lain.