1:
Jum`at, 28 Januari 2011
Kiai Jihad dan Ibu Penjual Es
(Sebuah Obrolan Santai Antar Umat Beragama)
Oleh: Mohamad Istihori
“Hayo es, es, es. Es siapa yang mau beli? Yang mau beli es, saya jamin masuk surga!” ujar seorang penjual es non-muslim yang kebetulan melewati kediaman Kiai Jihad. Teriknya panas matahari hari ini membuat Pimpinan Pondok Pesantren Al Ijtihad itu bermaksud untuk membeli es tersebut.
“Bu boleh dong esnya.” ujar Kiai Jihad memesan es itu.
“Pesan berapa Pak Kiai?” tanya tukang es yang memakai kalung salib di lehernya itu.
“Saya pesan satu porsi saja bu.” kata Kiai Jihad.
Kiai Jihad menanggapi perkataan sang ibu penjual es ketika menawarkan barang dagangannya barusan, “Bu barusan ibu bilang kalau beli es ibu bakalan masuk surga iya?”
“Iya benar Pak Kiai. Kalau Pak Kiai beli es ini berarti Pak Kiai telah membantu membiayai sekolah anak saya. Karena hanya dengan usaha jualan es inilah saya menafkahi dan membiayai sekolah anak saya satu-satunya. Karena Pak Kiai sudah membantu beban hidup saya maka Pak Kiai kan dapat pahala. Bukankah pahala merupakan salah satu tiket buat kita untuk masuk surga?” tanya ibu penjual es itu.
“Iya tapi kan surga bagi ibu adalah neraka bagi saya. Sedangkan neraka bagi saya adalah surga untuk ibu.” ujar Kiai Jihad.
“Maksud Pak Kiai ini apa sih? Saya nggak paham apa yang Pak Kiai ucapkan barusan.” ujar ibu itu sambil mengerutkan dahinya.
“Begini. Bukankah kalau ada orang Islam pergi ke masjid untuk melaksanakan sholat Jum`at maka dia akan mendapatkan pahala dan dengan pahala itu bisa menjadi bekal baginya untuk
2:
masuk surga. Sedangkan bagaimana pendapat ibu kalau ada seorang pemuda yang satu keyakinan dengan ibu melaksanakan Jum`atan? Dia mendapat pahala atau jadi dosa bagi dia?”
“Iya jadi dosalah Pak Kiai. Masa bukan orang Islam Jum`atan.” jawab sang ibu dengan penuh keyakinan.
“Nah itukan berarti surga bagi saya adalah neraka buat ibu. Artinya ibadah yang saya lakukan merupakan sebuah dosa kalau ibu melakukan ibadah yang saya lakukan. Demikian juga misalnya kalau ibu pergi ke tempat ibu beribadah itukan berarti ibu mendapatkan pahala dan menurut keyakinan ibu, ibu bisa masuk surga.
Tapi coba sekarang ibu bayangkan kalau saya yang mengerjakan ibadah yang ibu kerjakan maka menurut keyakinan saya pun saya akan masuk neraka karena telah melakukan ibadah agama lain yang berbeda keyakinan dengan saya. Nah dalam hal ini surga bagi ibu merupakan neraka bagi saya. Bukan begitu bu?” tanya Kiai Jihad.
“Benar Pak Kiai! Sekarang saya mengerti apa yang barusan Pak Kiai ungkapkan. Tapi kan sekarang urusannya beda Pak Kiai.” sanggah sang ibu.
“Beda apa maksudnya?” sekarang giliran Kiai Jihad yang belum paham akan ucapan sang ibu.
“Maksudnya dalam hal membantu orang kan seluruh agama memerintahkan. Agama Pak Kiai memerintahkan berbuat baik kepada seluruh makhluk ciptaan Tuhan demikian juga agama saya. Jadi kalau Pak Kiai beli es saya itu berarti Pak Kiai telah menjalankan perintah agama Pak Kiai dan Pak Kiai juga akan masuk ke dalam surga yang diyakini oleh agama Pak Kiai, bukan masuk surga yang saya yakini.” jawab sang ibu.
“Oh gitu iya bu?”
“Iya dong Pak Kiai memang demikianlah kebenarannya.”
“Nah jadi agar lebih enak sekarang adalah bagaimana kita sama-sama melakukan kebenaran secara universal (kebenaran yang diakui oleh seluruh agama) untuk kita perjuangkan bersama sesama manusia dan kita kembalikan ganjarannya kepada Tuhan kita masing-masing.” ujar Kiai Jihad.
“Nah begitu saya sangat setuju Pak Kiai.” dukung sang ibu.
Kamis, 27 Januari 2011
Orang Hidup yang Hidup, Orang Hidup yang Tidur, dan Orang Hidup yang Mati
Kamis, 27 Januari 2011
Orang Hidup yang Hidup,
Orang Hidup yang Tidur,
dan Orang Hidup yang Mati
Oleh: Mohamad Istihori
Surat as Sajdah (32): 8-9
<8>“Tsumma ja`ala naslahu ming sulaalatim mim maaim mahiin.”
<9>” Tsumma sawwaahu wa nafakho fiihi mir ruuhihi wa ja`ala lakumus sam`a wal abshooro wal afidah. Qoliilam maa tasykuruun.”
Artinya:
<8> ”Kemudian Dia menjadikan keturunan Adam dari saripati air yang hina (air mani)”
<9> “Kemudian Dia menyempurnakan keturunan Adam dan meniupkan roh (ciptaan)-Nya ke dalam tubuh keturunan Adam dan Dia menjadikan pendengaran, pengelihatan, dan hati bagi kamu sekalian. Tetapi sedikit sekali kamu sekalian bersyukur.”
Pembahasan:
Manusia itu pada awalnya berasal dari tanah yang diberi nama Adam. Kemudian keturunan Adam sampai akhir zaman kelak berasal dari air yang hina, mim maaim mahiin, dari nuthfah, atau air mani. Kalau kita buang air tersebut niscaya tidak akan ada seorang pun yang mau mengambilnya. Tapi coba kalau uang Rp. 5.000,- atau Rp. 50.000,- bisa dipastikan uang tersebut diambil orang.
Allah berfirman dalam surat as Sajdah ayat 8: “Tsumma ja`ala naslahu ming sulaalatim mim maaim mahiin.” = ”Kemudian Dia menjadikan keturunan Adam dari saripati air yang hina (air mani).”
Maka ketika muncul kesombongan dalam diri kita segeralah sadari bahwa kita berasal dari air yang hina dan lemah. Dan, memang sesungguhnya tidak ada alasan sedikitpun bagi kita untuk menyombongkan diri di hadapan orang lain apalagi di hadapan Allah SWT.
Dalam surat Yasin ayat 77 Allah juga berfirman mengenai hal ini: “Awalam yarol ingsaanu annaa kholaqnaahu min nuthfating faidzaa huwa khoshiimum mubiin.” = “Dan tidakkah manusia memperhatikan bahwa Kami menciptakannya dari setetes mani, ternyata menjadi musuh yang nyata!”
Ibnu Abbas berkata, As bin Wa`il datang menemui Rasulullah Saw dengan membawa tulang yang telah rapuh dimakan usia, kemudian dia meremasnya hingga hancur dan berkata, “Hai Muhammad, apakah tulang yang telah aku hancurkan ini akan dibangkitkan?” Nabi pun menjawa, “Ya, benar. Allah akan membangkitkannya. Dia akan mematikanmu, kemudian akan menghidupkanmu lagi, kemudian memasukkanmu ke neraka Jahanam.” Lalu turunlah ayat ini.
Namun kita juga sebenarnya adalah makhluk yang paling mulia jika dibandingkan dengan makhluk Allah yang lain. Dalam surat as Sajdah ayat 9 Allah berfirman: “Wa nafakho fiihi mir ruuhihi” = “Dan, Allah meniupkan ruh ciptaan-Nya ke dalam tubuh keturunan Adam.”
Kata ruh dalam ayat di atas dinisbatkan kepada Allah sebagai penghormatan dan menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang mulia. Dengan ayat ini bisa menjadi motivasi dan pembangkit rasa percaya diri saat diri kita mengalami krisis kepercayaan diri, merasa hidup di dunia tak ada lagi guna, dan saat kita kehilangan semangat hidup.
Dengan kedua sikap ini kita bisa menjadi manusia yang tidak menyombongkan diri tapi tetap percaya diri. Ini adalah sebuah keseimbangan yang sangat penting yang harus kita miliki dalam hidup. Memang tidak mudah untuk kita raih. Namun tidak mustahil untuk kita gapai kalau kita sudah memiliki kesadaran yang cukup akan siapakah sebenarnya diri kita ini?
Ayat selanjutnya yang patut kita garis bawahi adalah “Qoliilam maa tasykuruun.” = “Sangat sedikit sekali kamu sekalian yang bersyukur.” Kalau dalam ayat ini dinyatakan sedikit sekali dari kita yang mau bersyukur, maka mafhum mukholafah (makna yang ada di balik ayat ini) berarti banyak sekali kamu sekalian yang kufur(tidak mau bersyukur).
Berkaitan dengan ayat ini ada tiga hal yang telah Allah anugrahkan kepada kita yang semestinya sangat kita syukuri: ❶as Sam`a (pendengaran), ❷al Abshoor (pengelihatan), dan ❸al Af-idah (hati). Supaya kita bisa mendengar, melihat, dan memahami.
Sebagai seorang muslim sudah semestinyalah kita menggunakan ketiga unsur ini untuk taat dan beribadah sebagai sebuah ungkapan syukur kepada Allah SWT. Tidak malah menggunakan pendengaran, pengelihatan, dan hati dalam kemaksiatan dan dosa.
Orang yang bisa menggunakan pendengaran, pengelihatan, dan hati maka dia adalah orang hidup yang hidup karena dia bisa menerima kebenaran dan bisa memberikan manfaat bagi yang lain.
Orang yang baru menggunakan pendengaran dan pengelihatannya tapi hatinya belum berfungsi maka dia adalah orang hidup yang tidur. Artinya ia hanya perlu kita bangunkan agar kembali ke jalan yang benar.
Sedangkan orang yang pendengaran, pengelihatan, dan hatinya sudah tidak fungsi maka dia adalah orang hidup yang mati. Dalam surat al Baqoroh ayat 18 Allah berfirman: “Shummum bukmun `umyun fahum laa yarji`uun.” = “Mereka tuli, bisu, dan buta. Sehingga mereka tidak dapat kembali.”
Tuli karena pendengaran kita tidak berfungsi. Bisu karena mereka tidak memahami apapun dalam kehidupan sehingga tidak punya pemahaman apapun tentang hakekat kehidupan. Buta karena pengelihatan kita tidak berfungsi. Maka mereka ibarat orang yang telah mati tidak akan kembali (fahum laa yarji`uun).
Orang Hidup yang Hidup,
Orang Hidup yang Tidur,
dan Orang Hidup yang Mati
Oleh: Mohamad Istihori
Surat as Sajdah (32): 8-9
<8>“Tsumma ja`ala naslahu ming sulaalatim mim maaim mahiin.”
<9>” Tsumma sawwaahu wa nafakho fiihi mir ruuhihi wa ja`ala lakumus sam`a wal abshooro wal afidah. Qoliilam maa tasykuruun.”
Artinya:
<8> ”Kemudian Dia menjadikan keturunan Adam dari saripati air yang hina (air mani)”
<9> “Kemudian Dia menyempurnakan keturunan Adam dan meniupkan roh (ciptaan)-Nya ke dalam tubuh keturunan Adam dan Dia menjadikan pendengaran, pengelihatan, dan hati bagi kamu sekalian. Tetapi sedikit sekali kamu sekalian bersyukur.”
Pembahasan:
Manusia itu pada awalnya berasal dari tanah yang diberi nama Adam. Kemudian keturunan Adam sampai akhir zaman kelak berasal dari air yang hina, mim maaim mahiin, dari nuthfah, atau air mani. Kalau kita buang air tersebut niscaya tidak akan ada seorang pun yang mau mengambilnya. Tapi coba kalau uang Rp. 5.000,- atau Rp. 50.000,- bisa dipastikan uang tersebut diambil orang.
Allah berfirman dalam surat as Sajdah ayat 8: “Tsumma ja`ala naslahu ming sulaalatim mim maaim mahiin.” = ”Kemudian Dia menjadikan keturunan Adam dari saripati air yang hina (air mani).”
Maka ketika muncul kesombongan dalam diri kita segeralah sadari bahwa kita berasal dari air yang hina dan lemah. Dan, memang sesungguhnya tidak ada alasan sedikitpun bagi kita untuk menyombongkan diri di hadapan orang lain apalagi di hadapan Allah SWT.
Dalam surat Yasin ayat 77 Allah juga berfirman mengenai hal ini: “Awalam yarol ingsaanu annaa kholaqnaahu min nuthfating faidzaa huwa khoshiimum mubiin.” = “Dan tidakkah manusia memperhatikan bahwa Kami menciptakannya dari setetes mani, ternyata menjadi musuh yang nyata!”
Ibnu Abbas berkata, As bin Wa`il datang menemui Rasulullah Saw dengan membawa tulang yang telah rapuh dimakan usia, kemudian dia meremasnya hingga hancur dan berkata, “Hai Muhammad, apakah tulang yang telah aku hancurkan ini akan dibangkitkan?” Nabi pun menjawa, “Ya, benar. Allah akan membangkitkannya. Dia akan mematikanmu, kemudian akan menghidupkanmu lagi, kemudian memasukkanmu ke neraka Jahanam.” Lalu turunlah ayat ini.
Namun kita juga sebenarnya adalah makhluk yang paling mulia jika dibandingkan dengan makhluk Allah yang lain. Dalam surat as Sajdah ayat 9 Allah berfirman: “Wa nafakho fiihi mir ruuhihi” = “Dan, Allah meniupkan ruh ciptaan-Nya ke dalam tubuh keturunan Adam.”
Kata ruh dalam ayat di atas dinisbatkan kepada Allah sebagai penghormatan dan menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang mulia. Dengan ayat ini bisa menjadi motivasi dan pembangkit rasa percaya diri saat diri kita mengalami krisis kepercayaan diri, merasa hidup di dunia tak ada lagi guna, dan saat kita kehilangan semangat hidup.
Dengan kedua sikap ini kita bisa menjadi manusia yang tidak menyombongkan diri tapi tetap percaya diri. Ini adalah sebuah keseimbangan yang sangat penting yang harus kita miliki dalam hidup. Memang tidak mudah untuk kita raih. Namun tidak mustahil untuk kita gapai kalau kita sudah memiliki kesadaran yang cukup akan siapakah sebenarnya diri kita ini?
Ayat selanjutnya yang patut kita garis bawahi adalah “Qoliilam maa tasykuruun.” = “Sangat sedikit sekali kamu sekalian yang bersyukur.” Kalau dalam ayat ini dinyatakan sedikit sekali dari kita yang mau bersyukur, maka mafhum mukholafah (makna yang ada di balik ayat ini) berarti banyak sekali kamu sekalian yang kufur(tidak mau bersyukur).
Berkaitan dengan ayat ini ada tiga hal yang telah Allah anugrahkan kepada kita yang semestinya sangat kita syukuri: ❶as Sam`a (pendengaran), ❷al Abshoor (pengelihatan), dan ❸al Af-idah (hati). Supaya kita bisa mendengar, melihat, dan memahami.
Sebagai seorang muslim sudah semestinyalah kita menggunakan ketiga unsur ini untuk taat dan beribadah sebagai sebuah ungkapan syukur kepada Allah SWT. Tidak malah menggunakan pendengaran, pengelihatan, dan hati dalam kemaksiatan dan dosa.
Orang yang bisa menggunakan pendengaran, pengelihatan, dan hati maka dia adalah orang hidup yang hidup karena dia bisa menerima kebenaran dan bisa memberikan manfaat bagi yang lain.
Orang yang baru menggunakan pendengaran dan pengelihatannya tapi hatinya belum berfungsi maka dia adalah orang hidup yang tidur. Artinya ia hanya perlu kita bangunkan agar kembali ke jalan yang benar.
Sedangkan orang yang pendengaran, pengelihatan, dan hatinya sudah tidak fungsi maka dia adalah orang hidup yang mati. Dalam surat al Baqoroh ayat 18 Allah berfirman: “Shummum bukmun `umyun fahum laa yarji`uun.” = “Mereka tuli, bisu, dan buta. Sehingga mereka tidak dapat kembali.”
Tuli karena pendengaran kita tidak berfungsi. Bisu karena mereka tidak memahami apapun dalam kehidupan sehingga tidak punya pemahaman apapun tentang hakekat kehidupan. Buta karena pengelihatan kita tidak berfungsi. Maka mereka ibarat orang yang telah mati tidak akan kembali (fahum laa yarji`uun).
Jumat, 17 Desember 2010
Muhammad yang Jujur
Cibubur, Sabtu, 25 September 2010
Muhammad yang Jujur
Oleh: Mohamad Istihori
Muhammad...
Dari bibirmu meluncur
Kata-kata jujur
Dan, menghibur
Muhammad yang Jujur
Oleh: Mohamad Istihori
Muhammad...
Dari bibirmu meluncur
Kata-kata jujur
Dan, menghibur
Hati yang Selesai
Cibubur, Jum'at, 24 September 2010
Hati yang Selesai
Oleh: Mohamad Istihori
Sore ini Kiai Jihad teringat kenangan masa mudanya. Saat muda ia sudah menyelesaikan hatinya untuk bertekad dalam hati yang paling dalam untuk menjadi ustadz dan menemani para santri menemukan jati diri mereka.
Saat muda dulu sebenarnya ia banyak mendapat masukan agar meninggalkan dunia keustadzan. Atau minimal kalau tidak meninggalkan sama sekali, namun bisa mencari kerja yang lebih banyak menghasilkan keuntungan materi.
"Karena 'kerja' sebagai ustadz itu susah kayanya. Pendapatan pas-pasan, kerja nggak kenal waktu, dan banyak mendapatkan fitnah dari orang mendingan lu cari kerja lain yang lebih jelas dan yang penghasilannya oke." ujar seorang teman masa muda Kiai Jihad.
Kiai Jihad muda bukan orang yang saklek. Meski sudah sangat bertekad dengan dirinya sendiri, ia juga tetap mencoba saran teman-temannya.
Namun nasib memang menggiring Kiai Jihad ke medan dakwah dan pendidikan. Ia pun semakin menemukan jalannya untuk bertemu dengan kebenaran yang sejati.
Setiap orang memang dipersilahkan memilih jenis pekerjaan apa saja. Seorang pelukis bisa menemukan Tuhan melalui lukisannya. Seorang penyanyi tidak mustahil bertemu Allah melalui aktivitas dan kesibukannya sebagai penyanyi.
Seorang politikus, konselor, budayawan, insan perfilman, guru, tukang parkir, tukang ojek, SPG, buruh migran, dan penulis bisa bertemu dengan Tuhan melalui kesibukannya asalkan ia tetap menjaga kejujuran yang berlaku di dalam dirinya sendiri.
Yang sangat ironis, bisa saja seorang ustadz, kiai, penceramah, tokoh masyarakat/adat, atau guru agama justru menjadi musuh utama Tuhan karena merasa suci dan merasa benar sendiri.
Pokoknya apapun jenis pekerjaan kita, kerjakanlah dengan sepenuh hati dan dengan hati yang selesai. Artinya tidak ada perasaan, "Ah enakan jadi ustadz, enak kerjaan santai, cuma ceramah doang dapat duit banyak."
Sedangkan ustadz sendiri bilang, "Enak iya jadi PNS gaji pasti, dapat uang pensiunan, waktu kerja jelas."
Itu baru dua contoh perasaan yang mungkin muncul dari hati manusia-manusia yang hatinya belum selesai dalam menjalani pekerjaannya.
Hati yang Selesai
Oleh: Mohamad Istihori
Sore ini Kiai Jihad teringat kenangan masa mudanya. Saat muda ia sudah menyelesaikan hatinya untuk bertekad dalam hati yang paling dalam untuk menjadi ustadz dan menemani para santri menemukan jati diri mereka.
Saat muda dulu sebenarnya ia banyak mendapat masukan agar meninggalkan dunia keustadzan. Atau minimal kalau tidak meninggalkan sama sekali, namun bisa mencari kerja yang lebih banyak menghasilkan keuntungan materi.
"Karena 'kerja' sebagai ustadz itu susah kayanya. Pendapatan pas-pasan, kerja nggak kenal waktu, dan banyak mendapatkan fitnah dari orang mendingan lu cari kerja lain yang lebih jelas dan yang penghasilannya oke." ujar seorang teman masa muda Kiai Jihad.
Kiai Jihad muda bukan orang yang saklek. Meski sudah sangat bertekad dengan dirinya sendiri, ia juga tetap mencoba saran teman-temannya.
Namun nasib memang menggiring Kiai Jihad ke medan dakwah dan pendidikan. Ia pun semakin menemukan jalannya untuk bertemu dengan kebenaran yang sejati.
Setiap orang memang dipersilahkan memilih jenis pekerjaan apa saja. Seorang pelukis bisa menemukan Tuhan melalui lukisannya. Seorang penyanyi tidak mustahil bertemu Allah melalui aktivitas dan kesibukannya sebagai penyanyi.
Seorang politikus, konselor, budayawan, insan perfilman, guru, tukang parkir, tukang ojek, SPG, buruh migran, dan penulis bisa bertemu dengan Tuhan melalui kesibukannya asalkan ia tetap menjaga kejujuran yang berlaku di dalam dirinya sendiri.
Yang sangat ironis, bisa saja seorang ustadz, kiai, penceramah, tokoh masyarakat/adat, atau guru agama justru menjadi musuh utama Tuhan karena merasa suci dan merasa benar sendiri.
Pokoknya apapun jenis pekerjaan kita, kerjakanlah dengan sepenuh hati dan dengan hati yang selesai. Artinya tidak ada perasaan, "Ah enakan jadi ustadz, enak kerjaan santai, cuma ceramah doang dapat duit banyak."
Sedangkan ustadz sendiri bilang, "Enak iya jadi PNS gaji pasti, dapat uang pensiunan, waktu kerja jelas."
Itu baru dua contoh perasaan yang mungkin muncul dari hati manusia-manusia yang hatinya belum selesai dalam menjalani pekerjaannya.
Pembunuhan yang Tidak Sengaja
Senin, 13-12-2010
Pembunuhan yang Tidak Sengaja
(TJ: 84, an Nisa: 92)
Oleh: Mohamad Istihori
"Wa maa kaana limu-minin ay yaqtula mu-minan illaa khotho-aa = Dan, tidak selayaknya/tidak sepantasnya, terjadi kepada seorang mukmin membunuh mukmin yang lainnya kecuali karena tidak sengaja/karena kesalahan."
Kalau kita perhatikan redaksi dalam ayat 92 ini memakai kata mu-min. Dengan kata lain mustahil, nggak mungkin, nggak masuk akal, atau merupakan sebuah peristiwa yang irrasional dan imposible ada orang mukmin melakukan suatu perbuatan yang sangat dilarang oleh agama dan termasuk ke dalam dosa besar yaitu kasus pembunuhan.
Mengapa demikian? Karena secara derajat (kemuliaan manusia di sisi Allah) spiritualitas seorang pemeluk Islam itu ada tiga: pertama muslim. Mukmin. Dan, ketiga muttaqin.
Kalau derajat keagamaan kita dalam berislam masih pada tingkat muslim maka sangat dimungkinkan ada pertengkaran, pertikaian, perselisihan, bahkan sampai bunuh-bunuhan.
Maka dari itu juga jangan kaget kalau dalam Islam ada perpecahan. Dalam kemusliman seseorang masih ada potensi golongan, kelompok, mazhab, atau organisasi keagamaan tertentu yang diyakini.
Yang NU masih fanatik buta dengan ke-NU-annya dan menganggap yang selain itu keliru. Orang Muhammadiyah masih fanatik dengan ke-Muhammadiyah-annya sehingga mengira bahwa yang selain orang Muhammadiyah adalah salah.
Mungkinkah seorang muslim saling bunuh-bunuhan? Jawabannya mungkin. Dalam sebuah hadits Muhammad Rosulullah Saw bersabda, "Idzaa taqol muslimaani bisaifihimaa fal qootilu wal maqtuul fin naar = Apabila dua orang muslim bertemu dengan kedua pedang mereka berdua maka yang membunuh dan yang terbunuh di dalam neraka."
Sedangkan pada derajat mukmin tingkat toleransi dan pemikiran keagamaan meningkat satu level di atas muslim. Orang mukmin sangat menghargai keberagaman keberagamaan orang lain.
Dia mungkin orang NU tapi ketika berada di tengah orang selain NU ia sama sekali tak menonjol-nonjolkan ke-NU-annya bahkan banyak orang tidak tahu kalau dia orang NU.
Atau dia mungkin jama'ah Muhammadiyah tapi begitu ia ikut Shubuh berjama'ah lalu imamnya qunut, dia memang tidak ikut qunut tapi hal itu tidak serta-merta membuat dia kapok berjama'ah Shubuh di tempat itu.
Sedangkan derajat tertinggi adalah muttaqin (orang yang bertakwa). Makanya sangat wajar kalau Allah perintahkan untuk menjalankan ibadah puasa adalah orang beriman (mukmin) agar dia bisa meningkat derajatnya menjadi orang bertakwa (muttaqin).
Makanya wajar kalau haji yang diterima itu adalah haji mabrur. Karena kemabruran (al birr) hanyalah untuk orang yang bertakwa. Al birru manit taqoo = Kemabruran itu adalah bagi siapa yang takwa.
SALAH BUNUH (PEMBUNUHAN YANG TIDAK SENGAJA)
Namun memang harus diakui bahwa orang mukmin bisa saja berbuat suatu kesalahan yang tidak sengaja dan ia sama sekali tidak memiliki maksud untuk melakukan hal tersebut seperti halnya dicontohkan dalam ayat ini, orang mukmin bisa saja melakukan kesalahan yang fatal semisal tidak sengaja melakukan pembunuhan.
Di antara contoh pembunuhan yang tidak sengaja:
1. Lagi berburu, niatnya mau nembak/manah/nombak hewan buruan eh nggak tahunya kena orang.
2. Seorang polisi yang niatnya mau nembak penjahat eh nggak tahunya pelurunya nyasar kena orang lain.
3. Sedang memetik buah kelapa, duren, atau buah besar lainnya sebelum dia melempar buah tersebut ke bawah dia lihat nggak ada orang, pas dia lempar ke bawah buah itu eh pas ada orang lewat, mengenai orang tersebut sampai dia meninggal dunia.
Atau kalau dulukan orang itu di antara cara memetik buah adalah dengan cara melempar batu eh nggak tahu pas batu itu dilempar malah mengenai orang lewat sampai menyebabkan ia meninggalkan dunia (innaa lillahi wa innaa ilaihi rooji'uun).
4. Seseorang memukul orang lain dengan ukuran dan aturan pukulan tersebut secara umum, lazim, biasanya, dan ghooliban tidak akan menyebabkan seseorang meninggal dunia.
Tapi orang yang kita pukul tersebut malah meninggal dunia. Misalnya petinju yang memukul TKO musuhnya sampai meninggal dunia.
Nah itu juga bedanya petinju dengan peninju. Kalau petinju itu orang yang meninju (memukul) secara profesional dengan aturan, peraturan, dan peralatan yang bisa menjaga keamanan jalannya pertandingan.
SANKSI ATAS PEMBUNUHAN YANG TIDAK SENGAJA
"Fatahriiru roqobatim mu-minatin wa diyatum musallamatun ilaa ahlihi illaa ay yushoddaquu = Maka sanksi atas pembunuhan yang tidak sengaja adalah, 1. Memerdekakan budak/hamba sahaya perempuan yang beriman. 2. Membayar diyat yang diserahkan kepada keluarga korban (ahli warisnya)".
- al Mufrodaatul Yauum:
1. Shodaro - Yashdhu(i)ru = Terjadi.
2. 'Ataqo-ya'tiqu-'itqon = Membebaskan, melepaskan, atau memerdekakan.
3. Nasamah = al Insaan.
4. Wadaa-yaudii-wadyan-yadiyatan (al qootilul qotiil) = Membayar diyat kepada ahli waris korban.
5. Adaa-ya-dii-adyan-muaddaatan = Melunasi, membayar, memberikan.
Pembunuhan yang Tidak Sengaja
(TJ: 84, an Nisa: 92)
Oleh: Mohamad Istihori
"Wa maa kaana limu-minin ay yaqtula mu-minan illaa khotho-aa = Dan, tidak selayaknya/tidak sepantasnya, terjadi kepada seorang mukmin membunuh mukmin yang lainnya kecuali karena tidak sengaja/karena kesalahan."
Kalau kita perhatikan redaksi dalam ayat 92 ini memakai kata mu-min. Dengan kata lain mustahil, nggak mungkin, nggak masuk akal, atau merupakan sebuah peristiwa yang irrasional dan imposible ada orang mukmin melakukan suatu perbuatan yang sangat dilarang oleh agama dan termasuk ke dalam dosa besar yaitu kasus pembunuhan.
Mengapa demikian? Karena secara derajat (kemuliaan manusia di sisi Allah) spiritualitas seorang pemeluk Islam itu ada tiga: pertama muslim. Mukmin. Dan, ketiga muttaqin.
Kalau derajat keagamaan kita dalam berislam masih pada tingkat muslim maka sangat dimungkinkan ada pertengkaran, pertikaian, perselisihan, bahkan sampai bunuh-bunuhan.
Maka dari itu juga jangan kaget kalau dalam Islam ada perpecahan. Dalam kemusliman seseorang masih ada potensi golongan, kelompok, mazhab, atau organisasi keagamaan tertentu yang diyakini.
Yang NU masih fanatik buta dengan ke-NU-annya dan menganggap yang selain itu keliru. Orang Muhammadiyah masih fanatik dengan ke-Muhammadiyah-annya sehingga mengira bahwa yang selain orang Muhammadiyah adalah salah.
Mungkinkah seorang muslim saling bunuh-bunuhan? Jawabannya mungkin. Dalam sebuah hadits Muhammad Rosulullah Saw bersabda, "Idzaa taqol muslimaani bisaifihimaa fal qootilu wal maqtuul fin naar = Apabila dua orang muslim bertemu dengan kedua pedang mereka berdua maka yang membunuh dan yang terbunuh di dalam neraka."
Sedangkan pada derajat mukmin tingkat toleransi dan pemikiran keagamaan meningkat satu level di atas muslim. Orang mukmin sangat menghargai keberagaman keberagamaan orang lain.
Dia mungkin orang NU tapi ketika berada di tengah orang selain NU ia sama sekali tak menonjol-nonjolkan ke-NU-annya bahkan banyak orang tidak tahu kalau dia orang NU.
Atau dia mungkin jama'ah Muhammadiyah tapi begitu ia ikut Shubuh berjama'ah lalu imamnya qunut, dia memang tidak ikut qunut tapi hal itu tidak serta-merta membuat dia kapok berjama'ah Shubuh di tempat itu.
Sedangkan derajat tertinggi adalah muttaqin (orang yang bertakwa). Makanya sangat wajar kalau Allah perintahkan untuk menjalankan ibadah puasa adalah orang beriman (mukmin) agar dia bisa meningkat derajatnya menjadi orang bertakwa (muttaqin).
Makanya wajar kalau haji yang diterima itu adalah haji mabrur. Karena kemabruran (al birr) hanyalah untuk orang yang bertakwa. Al birru manit taqoo = Kemabruran itu adalah bagi siapa yang takwa.
SALAH BUNUH (PEMBUNUHAN YANG TIDAK SENGAJA)
Namun memang harus diakui bahwa orang mukmin bisa saja berbuat suatu kesalahan yang tidak sengaja dan ia sama sekali tidak memiliki maksud untuk melakukan hal tersebut seperti halnya dicontohkan dalam ayat ini, orang mukmin bisa saja melakukan kesalahan yang fatal semisal tidak sengaja melakukan pembunuhan.
Di antara contoh pembunuhan yang tidak sengaja:
1. Lagi berburu, niatnya mau nembak/manah/nombak hewan buruan eh nggak tahunya kena orang.
2. Seorang polisi yang niatnya mau nembak penjahat eh nggak tahunya pelurunya nyasar kena orang lain.
3. Sedang memetik buah kelapa, duren, atau buah besar lainnya sebelum dia melempar buah tersebut ke bawah dia lihat nggak ada orang, pas dia lempar ke bawah buah itu eh pas ada orang lewat, mengenai orang tersebut sampai dia meninggal dunia.
Atau kalau dulukan orang itu di antara cara memetik buah adalah dengan cara melempar batu eh nggak tahu pas batu itu dilempar malah mengenai orang lewat sampai menyebabkan ia meninggalkan dunia (innaa lillahi wa innaa ilaihi rooji'uun).
4. Seseorang memukul orang lain dengan ukuran dan aturan pukulan tersebut secara umum, lazim, biasanya, dan ghooliban tidak akan menyebabkan seseorang meninggal dunia.
Tapi orang yang kita pukul tersebut malah meninggal dunia. Misalnya petinju yang memukul TKO musuhnya sampai meninggal dunia.
Nah itu juga bedanya petinju dengan peninju. Kalau petinju itu orang yang meninju (memukul) secara profesional dengan aturan, peraturan, dan peralatan yang bisa menjaga keamanan jalannya pertandingan.
SANKSI ATAS PEMBUNUHAN YANG TIDAK SENGAJA
"Fatahriiru roqobatim mu-minatin wa diyatum musallamatun ilaa ahlihi illaa ay yushoddaquu = Maka sanksi atas pembunuhan yang tidak sengaja adalah, 1. Memerdekakan budak/hamba sahaya perempuan yang beriman. 2. Membayar diyat yang diserahkan kepada keluarga korban (ahli warisnya)".
- al Mufrodaatul Yauum:
1. Shodaro - Yashdhu(i)ru = Terjadi.
2. 'Ataqo-ya'tiqu-'itqon = Membebaskan, melepaskan, atau memerdekakan.
3. Nasamah = al Insaan.
4. Wadaa-yaudii-wadyan-yadiyatan (al qootilul qotiil) = Membayar diyat kepada ahli waris korban.
5. Adaa-ya-dii-adyan-muaddaatan = Melunasi, membayar, memberikan.
Dari "Padi Masalah" Menjadi "Nasi Berkah"
Sabtu, 11-12-2010
Dari "Padi Masalah" Menjadi "Nasi Berkah"
Oleh: Mohamad Istihori
Dengan adanya masalah yang dimilikinya saat ini. Mendorong Mat Semplur untuk kembali mengevaluasi dan merenungkan permasalahan pokok yang menyebabkan masalah saat ini bisa timbul.
Sebelumnya Mat Semplur sudah mengira bahwa hal ini bisa saja terjadi. Namun sebelumnya ia tidak begitu yakin akan separah ini. Sampai hal ini terjadi barulah ia yakin. Kekhawatiran Mat Semplur kemarin, hari ini telah terjadi.
Tak ada penyesalan terjadi sebelum suatu peristiwa itu terjadi. Tapi penyesalan itu ada setelah kejadian. Namun penyesalan yang sangat yang ia rasakan sekarang ia coba untuk mengambil hikmah yang ada di balik peristiwa ini.
Setelah mencoba jujur dan terbuka dengan diri sendiri Mat Semplur menyadari bahwa peristiwa pahit ini bisa terjadi semata-mata karena kelalaiannya dalam memaksimalkan anugerah waktu yang telah Allah karuniakan atas hidupnya.
Ternyata ia terlena dalam "La'bun wa lahwun" = dalam permainan dan sendau gurau. Sungguh permainan itu telah melalaikan Mat Semplur dalam mempersiapkan segala hal yang berkenan dengan beberapa hal yang berkenaan dengan beberapa hal yang berkaitan dengan pekerjaannya. Baik di rumah atau di kantor.
Maka mulai saat ini Mat Semplur mulai mengi'tikadkan dalam dirinya bahwa ia tidak akan terlena, terbuai, dan tergoda lagi dengan segala hal yang melalaikan akal dan hatinya yang membuat dia menjadi seorang pemalas.
Ini bisa masuk ke dalam konsep "taubatan nasuha". Bukan tobat sambel. Bukan tobat-tobatan. Tapi tobat beneran. Mat Semplur yakin bahwa kalau Allah memiliki rahasia akan masalah ini. Tinggal bagaimana ia mengasah kecerdasan akal dan ketajaman hati saja untuk menggali hikmah yang ada di baliknya.
Mat Semplur tahu mengapa Allah menimpakan masalah ini kepadanya. Tidaklah Allah memberikan suatu masalah kepada Mat Semplur kecuali Allah tahu bahwa Mat Semplur mampu memikulnya. ''Laa yukallifullaha nafsan illaa wus'ahaa'' = ''Tidaklah Allah membebani masalah kecuali yang seseorang itu mampu memikulnya.''
Masalah itu bukanlah semata-mata masalah. Masalah hanya menjadi masalah kalau kita menjadi manusia yang putus asa sehingga tidak mau menggali hikmahnya.
Masalah pada awalnya adalah bagaikan padi.Kalau padi bisa kita olah dengan baik ia menjadi beras, beras yang diolah dengan tepat menjadi nasi.
Kalau pengetahuan kita hanya pada menyikapi padi atau sampai beras maka kita menjadi orang yang makan padi/beras seperti ayam yang memang tidak punya pengetahuan untuk mengubah beras menjadi nasi.
Demikian juga masalah yang kita punya harus kita olah sedemikian rupa sehingga ia bisa menjadi berkah sebagaimana kita sebagai manusia juga sudah memiliki kecerdasan untuk mengubah beras menjadi nasi.
Selamat mengolah ''padi masalah'' menjadi ''nasi berkah''!
Dari "Padi Masalah" Menjadi "Nasi Berkah"
Oleh: Mohamad Istihori
Dengan adanya masalah yang dimilikinya saat ini. Mendorong Mat Semplur untuk kembali mengevaluasi dan merenungkan permasalahan pokok yang menyebabkan masalah saat ini bisa timbul.
Sebelumnya Mat Semplur sudah mengira bahwa hal ini bisa saja terjadi. Namun sebelumnya ia tidak begitu yakin akan separah ini. Sampai hal ini terjadi barulah ia yakin. Kekhawatiran Mat Semplur kemarin, hari ini telah terjadi.
Tak ada penyesalan terjadi sebelum suatu peristiwa itu terjadi. Tapi penyesalan itu ada setelah kejadian. Namun penyesalan yang sangat yang ia rasakan sekarang ia coba untuk mengambil hikmah yang ada di balik peristiwa ini.
Setelah mencoba jujur dan terbuka dengan diri sendiri Mat Semplur menyadari bahwa peristiwa pahit ini bisa terjadi semata-mata karena kelalaiannya dalam memaksimalkan anugerah waktu yang telah Allah karuniakan atas hidupnya.
Ternyata ia terlena dalam "La'bun wa lahwun" = dalam permainan dan sendau gurau. Sungguh permainan itu telah melalaikan Mat Semplur dalam mempersiapkan segala hal yang berkenan dengan beberapa hal yang berkenaan dengan beberapa hal yang berkaitan dengan pekerjaannya. Baik di rumah atau di kantor.
Maka mulai saat ini Mat Semplur mulai mengi'tikadkan dalam dirinya bahwa ia tidak akan terlena, terbuai, dan tergoda lagi dengan segala hal yang melalaikan akal dan hatinya yang membuat dia menjadi seorang pemalas.
Ini bisa masuk ke dalam konsep "taubatan nasuha". Bukan tobat sambel. Bukan tobat-tobatan. Tapi tobat beneran. Mat Semplur yakin bahwa kalau Allah memiliki rahasia akan masalah ini. Tinggal bagaimana ia mengasah kecerdasan akal dan ketajaman hati saja untuk menggali hikmah yang ada di baliknya.
Mat Semplur tahu mengapa Allah menimpakan masalah ini kepadanya. Tidaklah Allah memberikan suatu masalah kepada Mat Semplur kecuali Allah tahu bahwa Mat Semplur mampu memikulnya. ''Laa yukallifullaha nafsan illaa wus'ahaa'' = ''Tidaklah Allah membebani masalah kecuali yang seseorang itu mampu memikulnya.''
Masalah itu bukanlah semata-mata masalah. Masalah hanya menjadi masalah kalau kita menjadi manusia yang putus asa sehingga tidak mau menggali hikmahnya.
Masalah pada awalnya adalah bagaikan padi.Kalau padi bisa kita olah dengan baik ia menjadi beras, beras yang diolah dengan tepat menjadi nasi.
Kalau pengetahuan kita hanya pada menyikapi padi atau sampai beras maka kita menjadi orang yang makan padi/beras seperti ayam yang memang tidak punya pengetahuan untuk mengubah beras menjadi nasi.
Demikian juga masalah yang kita punya harus kita olah sedemikian rupa sehingga ia bisa menjadi berkah sebagaimana kita sebagai manusia juga sudah memiliki kecerdasan untuk mengubah beras menjadi nasi.
Selamat mengolah ''padi masalah'' menjadi ''nasi berkah''!
Beban Dosa
Sabtu, 11-12-2010
Beban Dosa
Oleh: Mohamad Istihori
Bagaimana manusia bisa hidup bahagia
dengan beban dosa di pundaknya?
Tidakkah pernah ia baca
dalam kitab suci agamanya?
Bahwa ada pengadilan Tuhan
yang tak ada sogokan-sogokan
yang tak mengenal suap-suapan!
Beban Dosa
Oleh: Mohamad Istihori
Bagaimana manusia bisa hidup bahagia
dengan beban dosa di pundaknya?
Tidakkah pernah ia baca
dalam kitab suci agamanya?
Bahwa ada pengadilan Tuhan
yang tak ada sogokan-sogokan
yang tak mengenal suap-suapan!
Langganan:
Postingan (Atom)