25 Jan 2013 04:21 pm | Saratri
Wilonoyudho
Dalam memperingati Maulid
Rasulullah Muhammad SAW di Gambang Syafaat 25 Januari 2013 ini (dan
juga di tempat lainnya), nampaknya ada satu hal penting untuk didiskusikan, yakni
tentang seberapa jauh sih peran kelas menengah (Islam) di negeri ini?
Pertanyaan ini cukup relevan, terutama setelah sebelumnya dalam Orasi di Taman
Ismail Marzuki 15 Januari 2013 yang lalu, Cak Nun juga meragukan kuatnya
kelas menengah di negeri ini. Padahal mereka diharapkan menjadi penggerak
sejarah dan perubahan sosial politik di tanah air. Lalu apa hubungannya dengan
Maulid Nabi? Nanti kita diskusikan di bawah ini.
Dari sejarah panjang negeri ini
memang menunjukkan bahwa kita sampai saat ini belum memiliki kelas menengah
yang kuat. Melacak lewat sejarah masa lalu nampak bahwa kelahiran kelas
menengah di jaman kolonial seperti Sarekat Islam, Indiche Partij, Sarekat
Dagang Islam, NU, Muhammadiyah dan sebagainya dilatarbelakangi oleh
beebagai faktor diantaranya lahirnya diskriminasi dan tekanan kaum penjajah
Belanda atas masyarakat pribumi saat itu.
Dengan kata lain, pengertian kelas
menengah di tanah air memang bukan berakar pada pengertian kelas menengah Eropa
Barat sebagai penggerak kapitalisme akibat Revolusi Industri. Kelas menengah
kita lahir dari tekanan politik, dan mereka hanya dapat didefinisikan terdiri
dari para intelektual, kaum pedagang, ulama, dan kelompok professional lainnya.
Bersamaan munculnya ideologi lain
yang berkembang saat itu seperti liberalisme, Marxisme, sosialisme dan Islam
moderen, dst, kelas menengah saat itu terus berkembang dari organisasi sosial
menjadi organisasi politik dan tumbuh kesadaran untuk melepaskan diri menjadi
bangsa yang merdeka. Nampak bahwa mereka masih memiliki idealisme yang cukup
bisa diharapkan, karena mereka memiliki musuh yang jelas, yakni kaum penjajah.