Kamis, 260309
Ilmu Amal dan Amalan Ilmu
Oleh: Mohamad Istihori
Ilmu itu bukan berfungsi sebagai "vitamin" atau "nutrisi" akal saja, namun dalam Islam, ilmu adalah suatu unsur yang mampu memberikan pencerahan kepada jiwa atau spiritual kita.
Dan, yang paling penting adalah ilmu sebagai landasan dasar dan faktor pendorong kita dalam melakukan amal sholeh.
"Al 'ilmu bilaa 'amalin kasyajarin bilaa tsamarin."
Ilmu tanpa amal bagaikan pohon tanpa buah."
Ilmu dan amal merupakan dua hal yang tak bisa dipisahkan bagaikan dua sisi mata uang. Orang tidak bisa cari ilmuuu saja tanpa beramal. Dan, di saat lain orang juga nggak bisa dong beramaaal aja tanpa memperbarui ilmunya.
Ilmu dan amal itu juga bagaikan ban belakang dengan ban depan sebuah kendaraan. Mereka berdua berjalan bersamaan. Saling melengkapi satu sama lainnya.
Orang yang berilmu dituntut untuk mengamalkan ilmunya. Orang yang beramal diharuskan menghayati amalannya dengan ilmu. Karena amal tanpa ada penghayatan ilmu hanya sebuah ritual belaka.
Orang yang sholat tapi tidak memahami ilmu sholat tetap saja akan melakukan perbuatan keji dan mungkar. Orang berzakat tanpa ilmu tetap saja tidak memiliki kepekaan sosial terhadap masyarakat sekitar lingkungannya.
Bahkan orang haji yang tidak punya ilmu hakikiat haji tidak akan memahami nilai universalitas dalam haji. Sehingga dia tetap saja fanatik terhadap ideologinya sendiri tanpa memiliki kemampuan untuk bergaul dengan orang yang memiliki ideologi, pemahaman, dan keyakinan yang berbeda.
Selasa, 31 Maret 2009
Menemukan Kebahagiaan dalam Kesendirian
Rabu, 010409
Menemukan Kebahagiaan dalam Kesendirian
Oleh: Mohamad Istihori
Berkumpul dengan banyak orang atau sedikit orang memberikan kebahagiaan yang tak ternilai harganya bagi rakyat Indonesia yang memiliki budaya paguyuban, seneng kongkow, ririungan, atau berkumpul dan bercengkrama.
Saya sendiri sangat menikmati momen-momen di mana bisa berkumpul dengan banyak orang. Tanpa mempertanyakan agama, ras, suku bangsa, ideologi, parpol, atau jenis kelamin.
Dalam perkumpulan seperti itu kita akan banyak menemukan input-input ilmu pengetahuan dan kearifan kehidupan yang tidak akan pernah kita temukan dari media massa jenis apapun milik masyarakat modern.
Namun ada saat di mana kita akan sendiri, ditinggalkan oleh orang-orang yang kita cintai. Apapun alasannya perpisahan memang membawa duka dan luka. Ada yang sementara, dalam jangka waktu lama, atau selamanya.
Inilah salah satu masalah yang paling berat yang saya alami. Untuk itulah untuk menemukan kebahagiaan dalam masa-masa kesendirian ini saya menulis, menulis, dan menulis.
Dengan menulis seperti ini, saya yakin, akan memberikan ruang untuk menumpahkan segala macam perasaan, unek-unek, curahan isi hati, dan pemikiran sekaligus melatih kepekaan.
Dengan cara seperti inilah diharapkan bisa tetap memperoleh ilmu pengetahuan dan kebahagiaan. Maka sekarang mau bersama banyak orang, mau sendirian saya terus-menerus berusaha mengisi ulang "pulsa kebahagiaan" dengan ongkos menulis di tengah keramaian maupun kesunyiaan, di siang bolong atau tengah malam bahkan dini hari sampai pagi.
Kesendirian tidak lagi memberikan kesunyian bagi saya apalagi kesedihan. Manusia harus memiliki cita-cita yang lebih besar daripada masalahnya. Sehingga apapun masalah yang ia hadapi ia akan terus yakin bahwa cita-citanya lebih mulia dan besar daripada masalah yang menimpanya.
Maka kalau sudah kayak gini saya merasa pas dengan "celoteh" Oppie Andaresta, "Iam single iam very happy." Meski aku sendiri, aku tetap "happy".
Menemukan Kebahagiaan dalam Kesendirian
Oleh: Mohamad Istihori
Berkumpul dengan banyak orang atau sedikit orang memberikan kebahagiaan yang tak ternilai harganya bagi rakyat Indonesia yang memiliki budaya paguyuban, seneng kongkow, ririungan, atau berkumpul dan bercengkrama.
Saya sendiri sangat menikmati momen-momen di mana bisa berkumpul dengan banyak orang. Tanpa mempertanyakan agama, ras, suku bangsa, ideologi, parpol, atau jenis kelamin.
Dalam perkumpulan seperti itu kita akan banyak menemukan input-input ilmu pengetahuan dan kearifan kehidupan yang tidak akan pernah kita temukan dari media massa jenis apapun milik masyarakat modern.
Namun ada saat di mana kita akan sendiri, ditinggalkan oleh orang-orang yang kita cintai. Apapun alasannya perpisahan memang membawa duka dan luka. Ada yang sementara, dalam jangka waktu lama, atau selamanya.
Inilah salah satu masalah yang paling berat yang saya alami. Untuk itulah untuk menemukan kebahagiaan dalam masa-masa kesendirian ini saya menulis, menulis, dan menulis.
Dengan menulis seperti ini, saya yakin, akan memberikan ruang untuk menumpahkan segala macam perasaan, unek-unek, curahan isi hati, dan pemikiran sekaligus melatih kepekaan.
Dengan cara seperti inilah diharapkan bisa tetap memperoleh ilmu pengetahuan dan kebahagiaan. Maka sekarang mau bersama banyak orang, mau sendirian saya terus-menerus berusaha mengisi ulang "pulsa kebahagiaan" dengan ongkos menulis di tengah keramaian maupun kesunyiaan, di siang bolong atau tengah malam bahkan dini hari sampai pagi.
Kesendirian tidak lagi memberikan kesunyian bagi saya apalagi kesedihan. Manusia harus memiliki cita-cita yang lebih besar daripada masalahnya. Sehingga apapun masalah yang ia hadapi ia akan terus yakin bahwa cita-citanya lebih mulia dan besar daripada masalah yang menimpanya.
Maka kalau sudah kayak gini saya merasa pas dengan "celoteh" Oppie Andaresta, "Iam single iam very happy." Meski aku sendiri, aku tetap "happy".
Rem Blong dan Gas Bablas
Selasa, 310309
Rem Blong dan Gas Bablas
Oleh: Mohamad Istihori
Keselamatan berkendaraan bergantung pada dua hal: pertama rem dan kedua gas. Keselamatan hidup manusia juga sangat bergantung pada kemampuan dirinya untuk menentukan kapan dia harus nge-rem dan kapan harus nge-gas. (Emha Ainun Nadjib: 2008)
Banyak caleg-caleg kita yang tancap gas untuk mendapatkan jabatan. Mengeluarkan dana sekian ratus juta rupiah untuk mendaftarkan diri ke sebuah parpol konstestan pemilu 2009 dan untuk dana kampanye.
Namun mereka tidak mengindahkan remnya. Maka jangan heran setelah Pemilu 2009 akan banyak caleg-caleg yang nama dan fotonya terpasang sepanjang jalan mental mereka akan terjungkal, nyungsep, atau terjatuh.
Mereka mungkin saja akan mengalami stres, depresi, atau gangguan mental dan jiwa lainnya. Bagaimana tidak mengalami gangguan mental, mereka sudah mengeluarkan banyak uang, eh ternyata jabatan yang selama kampanye mereka bayangkan akan mereka dapatkan ternyata tidak berhasil mereka raih. "Sakit hati Bewok!" ujar seorang sahabat.
RSJ-RSJ atau tempat-tempat rehabilitasi mental akan penuh sesak. "Ah yang bener aja ente ngomong?" ujar seseorang yang lain dengan nada protes.
"Loh ini bukan masalah bener atau nggak bener. Saya kan cuma memprediksikan. Mudah-mudahan sih emang nggak kayak gitu." kata saya sambil membela diri.
Dalam kehidupan pada umumnya kita juga kerap tancap gas, mengejar obsesi, menuruti keinginan hawa nafsu, dan mengejar target pendapatan untuk memenuhi kebutuhan sebulan tanpa teliti menghitung halal dan haram.
Yang memperparah keadaan kemudian adalah situasi di mana kita tidak punya rem. Melakukan apapun kalau tidak punya rem dalam jiwa kita maka akan berdampak negatif.
Melakukan segala hal kalau tidak memiliki perhitungan yang matang, kapan nge-rem, kapan nge-gas itu sama saja mencelakakan diri kita sendiri.
Jadi rawatlah gas dan rem dalam jiwa kita agar selamat sampai tujuan. Selamat menempuh perjalanan kehidupan yang penuh tantangan, cobaan, dan ujian.
Rem Blong dan Gas Bablas
Oleh: Mohamad Istihori
Keselamatan berkendaraan bergantung pada dua hal: pertama rem dan kedua gas. Keselamatan hidup manusia juga sangat bergantung pada kemampuan dirinya untuk menentukan kapan dia harus nge-rem dan kapan harus nge-gas. (Emha Ainun Nadjib: 2008)
Banyak caleg-caleg kita yang tancap gas untuk mendapatkan jabatan. Mengeluarkan dana sekian ratus juta rupiah untuk mendaftarkan diri ke sebuah parpol konstestan pemilu 2009 dan untuk dana kampanye.
Namun mereka tidak mengindahkan remnya. Maka jangan heran setelah Pemilu 2009 akan banyak caleg-caleg yang nama dan fotonya terpasang sepanjang jalan mental mereka akan terjungkal, nyungsep, atau terjatuh.
Mereka mungkin saja akan mengalami stres, depresi, atau gangguan mental dan jiwa lainnya. Bagaimana tidak mengalami gangguan mental, mereka sudah mengeluarkan banyak uang, eh ternyata jabatan yang selama kampanye mereka bayangkan akan mereka dapatkan ternyata tidak berhasil mereka raih. "Sakit hati Bewok!" ujar seorang sahabat.
RSJ-RSJ atau tempat-tempat rehabilitasi mental akan penuh sesak. "Ah yang bener aja ente ngomong?" ujar seseorang yang lain dengan nada protes.
"Loh ini bukan masalah bener atau nggak bener. Saya kan cuma memprediksikan. Mudah-mudahan sih emang nggak kayak gitu." kata saya sambil membela diri.
Dalam kehidupan pada umumnya kita juga kerap tancap gas, mengejar obsesi, menuruti keinginan hawa nafsu, dan mengejar target pendapatan untuk memenuhi kebutuhan sebulan tanpa teliti menghitung halal dan haram.
Yang memperparah keadaan kemudian adalah situasi di mana kita tidak punya rem. Melakukan apapun kalau tidak punya rem dalam jiwa kita maka akan berdampak negatif.
Melakukan segala hal kalau tidak memiliki perhitungan yang matang, kapan nge-rem, kapan nge-gas itu sama saja mencelakakan diri kita sendiri.
Jadi rawatlah gas dan rem dalam jiwa kita agar selamat sampai tujuan. Selamat menempuh perjalanan kehidupan yang penuh tantangan, cobaan, dan ujian.
Senin, 30 Maret 2009
Masyarakat Bunglon?
Sabtu, 280309
Masyarakat Bunglon?
Oleh: Mohamad Istihori
"Kok banyak masyarakat kita yang nggak jelas sih?" ujar Semplur membuka dialog dini hari ini sambil menyerumput kopi.
"Nggak jelas gimana Plur?" tanya saya masih belum mengerti arah pembicaraan Semplur.
"Iya masa kemarin lusa ikut memeriahkan kampanye 'Partai Hijau Daun', kemarinnya berbondong-bondong ikut 'Partai Merah Darah', dan hari ini beramai-ramai ikut 'Partai Kuning Langsat'."
"Kayak bunglon aja iya Plur?" ujar saya.
"Iya gitulah kira-kira masyarakat kita," Semplur menyetujui 'hipotesa' saya.
Tapi bukan Semplur namanya kalau tidak segera membuat antitesa atas sebuah hipotesa yang ia sepakati, "Tapi kita nggak bisa dong menyalahkan rakyat sepenuhnya. Namanya juga orang dibayar, nggak salah dong mereka kayak gitu?
Lagi pula kan nggak setiap hari ada orang yang mikirin rakyat, tiba-tiba baik hatinya bukan main: bagi-bagi duit, sembako, kaos, bola, jilbab, dan kartu namanya.
Nanti kalo udah dapat jabatan paling-paling mereka petantang-petenteng di depan rakyat." ujar Semplur.
"Itu mah masih mending Plur. Yang nyakitin rakyat itu, ketika mereka melakukan korupsi super canggih yang dijalankan dengan sistematis, dan disepkati bersama untuk mengembalikan jutaan rupiah yang mereka kucurkan ketika kampanye." saya mencoba menimpali.
Saya pun melanjutkan obrolan santai dini hari ini dengan bertanya, "Bukankah semua yang mereka lakukan selama ini justru mengorbankan ideologi?"
"Alah kamu hari gini ngomong ideologi? Udah nggak zaman kali! Emang masih ada apa partai yang jadi kontestan Pemilu 2009 ini yang benar-benar memperjuangkan ideologi kerakyatan?" kata Semplur.
"Ada! Saya yakin masih ada kok partai yang benar-benar memperjuangkan aspirasi rakyat." kata saya penuh optimisme.
"Iya ada tapi jumlahnya kalah banyak dan kalah populer dengan partai yang justru mencari keuntungan. Rakyat hanya dijadikan tunggangan.
Rakyat dikibulin lima tahun sekali, diberi seribu janji manis (sekolah gratis lah, pendidikan nggak perlu bayar lah, sembako murah lah). Nyatanya? Nol besar. Semua cuma omong kosong!" ujar Semplur dengan gaya bicara pedasnya yang sudah jadi ciri khas.
"Kamu kok jadi pesimistis gitu sih Plur?" tanya saya.
"Saya bukannya pesimis. Saya hanya capek dikibulin melulu." bela Semplur sambil menghisap rokoknya yang hampir habis itu.
"Iya Plur capek iya" kata saya.
"Cuapek deehh." ujar Semplur.
Masyarakat Bunglon?
Oleh: Mohamad Istihori
"Kok banyak masyarakat kita yang nggak jelas sih?" ujar Semplur membuka dialog dini hari ini sambil menyerumput kopi.
"Nggak jelas gimana Plur?" tanya saya masih belum mengerti arah pembicaraan Semplur.
"Iya masa kemarin lusa ikut memeriahkan kampanye 'Partai Hijau Daun', kemarinnya berbondong-bondong ikut 'Partai Merah Darah', dan hari ini beramai-ramai ikut 'Partai Kuning Langsat'."
"Kayak bunglon aja iya Plur?" ujar saya.
"Iya gitulah kira-kira masyarakat kita," Semplur menyetujui 'hipotesa' saya.
Tapi bukan Semplur namanya kalau tidak segera membuat antitesa atas sebuah hipotesa yang ia sepakati, "Tapi kita nggak bisa dong menyalahkan rakyat sepenuhnya. Namanya juga orang dibayar, nggak salah dong mereka kayak gitu?
Lagi pula kan nggak setiap hari ada orang yang mikirin rakyat, tiba-tiba baik hatinya bukan main: bagi-bagi duit, sembako, kaos, bola, jilbab, dan kartu namanya.
Nanti kalo udah dapat jabatan paling-paling mereka petantang-petenteng di depan rakyat." ujar Semplur.
"Itu mah masih mending Plur. Yang nyakitin rakyat itu, ketika mereka melakukan korupsi super canggih yang dijalankan dengan sistematis, dan disepkati bersama untuk mengembalikan jutaan rupiah yang mereka kucurkan ketika kampanye." saya mencoba menimpali.
Saya pun melanjutkan obrolan santai dini hari ini dengan bertanya, "Bukankah semua yang mereka lakukan selama ini justru mengorbankan ideologi?"
"Alah kamu hari gini ngomong ideologi? Udah nggak zaman kali! Emang masih ada apa partai yang jadi kontestan Pemilu 2009 ini yang benar-benar memperjuangkan ideologi kerakyatan?" kata Semplur.
"Ada! Saya yakin masih ada kok partai yang benar-benar memperjuangkan aspirasi rakyat." kata saya penuh optimisme.
"Iya ada tapi jumlahnya kalah banyak dan kalah populer dengan partai yang justru mencari keuntungan. Rakyat hanya dijadikan tunggangan.
Rakyat dikibulin lima tahun sekali, diberi seribu janji manis (sekolah gratis lah, pendidikan nggak perlu bayar lah, sembako murah lah). Nyatanya? Nol besar. Semua cuma omong kosong!" ujar Semplur dengan gaya bicara pedasnya yang sudah jadi ciri khas.
"Kamu kok jadi pesimistis gitu sih Plur?" tanya saya.
"Saya bukannya pesimis. Saya hanya capek dikibulin melulu." bela Semplur sambil menghisap rokoknya yang hampir habis itu.
"Iya Plur capek iya" kata saya.
"Cuapek deehh." ujar Semplur.
Di Bawah Ancaman Tipu Daya Pengemis
Sabtu, 280309
Di Bawah Ancaman Tipu Daya Pengemis
Oleh: Mohamad Istihori
Kita kadang merasa iba melihat para pengemis dengan berbagai "tingkah lakunya". Di antara mereka menampakkan bermacam-macam keadaan: ada yang meminta tanpa tangan atau kaki (buntung sebelah atau keduanya), menggendong anak kecil sambil menyusui, minta modal kerja atau biaya kuliah/sekolah, mengemis untuk biaya operasi anak atau istri, dan berbagai macam modus yang bisa kita saksikan langsung di pinggiran jalan kota.
Kalau mereka mengemis karena kebutuhan yang memang sangat mendesak, apapun argumentasi yang mereka gunakan sebagai modus, kalau kita mampu membantunya maka kita wajib membantu atau mengurangi beban penderitaan mereka.
Tapi kita akan jengkel dan merasa dibohongi kalau semua itu mereka lakukan karena sebagai profesi. Mereka di-drop di suatu tempat yang telah direncanakan sebelumnya, dilatih untuk "acting" agar membuat setiap orang yang melihatnya iba, dan dilakukan bagi hasil antara mereka dengan pihak koordinator.
Bahkan yang lebih menghebohkan lagi ketika kita "kebetulan" menyaksikan langsung rumahnya ternyata lebih megah bahkan terbilang mewah melebihi yang kita bayangkan.
Dari kenyataan seperti inilah kemudian kita bisa memahami Perda DKI Jakarta yang melarang memberikan bantuan kepada para pengemis adalah suatu kewajaran.
Tapi meski pun demikian kalau kita tidak berkenan memberikan bantuan, iya jangan mengeluarkan kata-kata yang tidak mengenakkan hati.
Di Bawah Ancaman Tipu Daya Pengemis
Oleh: Mohamad Istihori
Kita kadang merasa iba melihat para pengemis dengan berbagai "tingkah lakunya". Di antara mereka menampakkan bermacam-macam keadaan: ada yang meminta tanpa tangan atau kaki (buntung sebelah atau keduanya), menggendong anak kecil sambil menyusui, minta modal kerja atau biaya kuliah/sekolah, mengemis untuk biaya operasi anak atau istri, dan berbagai macam modus yang bisa kita saksikan langsung di pinggiran jalan kota.
Kalau mereka mengemis karena kebutuhan yang memang sangat mendesak, apapun argumentasi yang mereka gunakan sebagai modus, kalau kita mampu membantunya maka kita wajib membantu atau mengurangi beban penderitaan mereka.
Tapi kita akan jengkel dan merasa dibohongi kalau semua itu mereka lakukan karena sebagai profesi. Mereka di-drop di suatu tempat yang telah direncanakan sebelumnya, dilatih untuk "acting" agar membuat setiap orang yang melihatnya iba, dan dilakukan bagi hasil antara mereka dengan pihak koordinator.
Bahkan yang lebih menghebohkan lagi ketika kita "kebetulan" menyaksikan langsung rumahnya ternyata lebih megah bahkan terbilang mewah melebihi yang kita bayangkan.
Dari kenyataan seperti inilah kemudian kita bisa memahami Perda DKI Jakarta yang melarang memberikan bantuan kepada para pengemis adalah suatu kewajaran.
Tapi meski pun demikian kalau kita tidak berkenan memberikan bantuan, iya jangan mengeluarkan kata-kata yang tidak mengenakkan hati.
Jumat, 27 Maret 2009
Musim "Istri-istri Ngambek" Telah Datang?
Jumat, 270309
Musim "Istri-istri Ngambek" Telah Datang?
Manusia memang kerap "lempar batu sembunyi tangan" setelah melakukan kesalahan? Masa bendungan Situ Gintung jebol dianggap bencana alam?
Air pun tertawa mendengar berita-berita itu, "Loh emangnya dulu ini tempat siapa? Saya," kata air, "hanya menjalankan sunnatullah. Yang namanya kaum kami, yaitu air, kalau berjalan iya dari atas ke bawah.
Sekarang manusia membangun segala sarana dan prasarana mereka tanpa memikirkan tempat berbagai dengan kami."
Empat Macam Hubungan Suami-Istri
Ada empat macam hubungan suami-istri (menurut Emha Ainun Nadjib):
Pertama, hubungan Allah dengan alam semesta. Allah sebagai "suami" dan alam semesta sebagai "istri".
Kedua, pemerintah sebagai suami, rakyat sebagai istri. Rakyat Indonesia adalah gambaran seorang istri yang selalu diberikan janjinya oleh suaminya yang bernama pemerintah. Namun satupun suaminya belum ada yang benar-benar sayang, setia, dan menepati janjinya.
Ketiga, laki-laki sebagai suami, perempuan sebagai istri.
Keempat, manusia sebagai suami, alam sebagai istri.
Manusia adalah suami yang sangat tidak bertanggung jawab terhadap istrinya yang bernama alam. Sebagai suami manusia kerap mempergauli istrinya yang bernama alam. Namun bukan dengan cara yang santun sebagaimana suami yang baik dan bertanggung jawab mempergauli istrinya.
Manusia lebih pas kerap memperkosa alam. Sehingga tidak memperhatikan bahwa alam juga butuh istirahat. Tidak bisa terus-menerus dieksploitasi.
Manusia sebagai suami cuma mau enaknya doang. Habis manis sepah dibuang. Hutan dibabat habis tanpa memikirkan untuk menanamnya kembali.
Tanah diblok kemudian dibangun mal, supermarket, atau rumah penduduk tanpa peduli bahwa di atas bangunan dan gedung-gedung pencakar langit yang mereka dirikan itu dulunya adalah tempat resapan air.
Danau, rawa, sungai, kali, atau situ di pinggiran-pinggiran kota "diurug" untuk kemudian didirikan permukiman mereka. Maka kalau demikian yang harus kita marahi suami yang tak tahu diri yang bernama manusia atau istri yang sedang "ngambek" yang bernama alam?
Dan, kita sebagai suami hampir tak pernah bisa mengambil pelajaran sedikit pun melalui peristiwa "ngambek"nya istri kita sebelumnya. Padahal melalui tsunami Aceh, gempa Jogja, atau banjir tahunan di Jakarta sudah memberikan contoh betapa seramnya wajah istri kita yang bernama alam kalau sedang "ngambek".
Musim "Istri-istri Ngambek" Telah Datang?
Manusia memang kerap "lempar batu sembunyi tangan" setelah melakukan kesalahan? Masa bendungan Situ Gintung jebol dianggap bencana alam?
Air pun tertawa mendengar berita-berita itu, "Loh emangnya dulu ini tempat siapa? Saya," kata air, "hanya menjalankan sunnatullah. Yang namanya kaum kami, yaitu air, kalau berjalan iya dari atas ke bawah.
Sekarang manusia membangun segala sarana dan prasarana mereka tanpa memikirkan tempat berbagai dengan kami."
Empat Macam Hubungan Suami-Istri
Ada empat macam hubungan suami-istri (menurut Emha Ainun Nadjib):
Pertama, hubungan Allah dengan alam semesta. Allah sebagai "suami" dan alam semesta sebagai "istri".
Kedua, pemerintah sebagai suami, rakyat sebagai istri. Rakyat Indonesia adalah gambaran seorang istri yang selalu diberikan janjinya oleh suaminya yang bernama pemerintah. Namun satupun suaminya belum ada yang benar-benar sayang, setia, dan menepati janjinya.
Ketiga, laki-laki sebagai suami, perempuan sebagai istri.
Keempat, manusia sebagai suami, alam sebagai istri.
Manusia adalah suami yang sangat tidak bertanggung jawab terhadap istrinya yang bernama alam. Sebagai suami manusia kerap mempergauli istrinya yang bernama alam. Namun bukan dengan cara yang santun sebagaimana suami yang baik dan bertanggung jawab mempergauli istrinya.
Manusia lebih pas kerap memperkosa alam. Sehingga tidak memperhatikan bahwa alam juga butuh istirahat. Tidak bisa terus-menerus dieksploitasi.
Manusia sebagai suami cuma mau enaknya doang. Habis manis sepah dibuang. Hutan dibabat habis tanpa memikirkan untuk menanamnya kembali.
Tanah diblok kemudian dibangun mal, supermarket, atau rumah penduduk tanpa peduli bahwa di atas bangunan dan gedung-gedung pencakar langit yang mereka dirikan itu dulunya adalah tempat resapan air.
Danau, rawa, sungai, kali, atau situ di pinggiran-pinggiran kota "diurug" untuk kemudian didirikan permukiman mereka. Maka kalau demikian yang harus kita marahi suami yang tak tahu diri yang bernama manusia atau istri yang sedang "ngambek" yang bernama alam?
Dan, kita sebagai suami hampir tak pernah bisa mengambil pelajaran sedikit pun melalui peristiwa "ngambek"nya istri kita sebelumnya. Padahal melalui tsunami Aceh, gempa Jogja, atau banjir tahunan di Jakarta sudah memberikan contoh betapa seramnya wajah istri kita yang bernama alam kalau sedang "ngambek".
Kamis, 26 Maret 2009
Takwa
Jumat, 270309
Takwa
(Sumber: Nashoihul 'Ibad)
Definisi takwa adalah, "Tarku muroodaatin nafsi wa mujaanabati nahyillahi ta'ala."
"Meninggalkan keinginan-keinginan nafsu dan menjauhi larangan-larangan Allah Ta'ala."
Kita kan tahunya definisi takwa itu adalah, "imtitsaalu awaamirillah waj tinaabun nawaahi."
"Menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya."
Lagian kalo definisinya kayak gitu mah Ungu Band juga tahu, "menjalankan segala perintah-Mu, menjauhi sgala larangan-Mu adalah segenap doaku untuk-Mu..."
Bagi seorang "pengabdi nilai-nilai kebenaran" ia harus menjalani lima hal untuk meraih takwa.
Pertama, "ikhtiarusy syiddah 'alan ni'mah", berusaha atau bekerja keras dan meninggalkan bersenang-senang.
Kedua, "ikhtiarul juhdi 'alar roohati", memilih untuk berjuang menghadapi permasalahan kehidupan daripada harus selalu berpangku tangan menunggu bantuan dan uluran tangan orang lain.
Pantang menyerah menghadapi masalah. Tapi tidak mencari-cari masalah.
Ketiga, "ikhtiarudz dzulli 'alal 'izzi," memilih menjadi orang yang berposisi biasa-biasa saja, tidak terkenal, nggak nge-top, tidak mengejar selebritas apalagi mencari-cari sensasi dengan membuat hal-hal yang menimbulkan kontroversi, misalnya.
Orientasi, energi, dan obsesi hidupnya tidak dihabiskan serta tidak untuk mengejar, "al izzi", kekuasaan atau kekuatan sehingga dia merasa lebih hebat dari orang lain.
Keempat, "iktiarus sukuut 'alal fudhuul", memilih diam daripada banyak bicara dengan niat agar orang lain menilai kita lebih memiliki "al fudhuul", keunggulan atau kepintaran.
Kecuali berbicara yang bermanfaat dan memberikan kemaslahatan sosial. Diam terkadang memang emas. Tapi berbicara saat dibutuhkan bisa merubah batu biasa menjadi batu permata.
Jadi tidak selamanya selalu diam itu baik dan ngomong terus juga jelek. Semua harus proporsional. Harus pas tempat dan kebutuhannya.
Kelima, "ikhtiarul mauuti 'alal hayati," memilih mempersiapkan diri untuk kematian daripada pusing mikirin kehidupan atau lebih memilih membunuh nafsu daripada memelihara dan membiarkannya hidup dalam jiwa kita.
Banyak orang ingin bertakwa tapi banyak yang tak tahu jalannya. "Iya tapi kan lumayan sudah banyak laki-laki yang sudah bisa memakai baju 'takwa' alias baju koko," celetuk seseorang di belakang saya.
Takwa
(Sumber: Nashoihul 'Ibad)
Definisi takwa adalah, "Tarku muroodaatin nafsi wa mujaanabati nahyillahi ta'ala."
"Meninggalkan keinginan-keinginan nafsu dan menjauhi larangan-larangan Allah Ta'ala."
Kita kan tahunya definisi takwa itu adalah, "imtitsaalu awaamirillah waj tinaabun nawaahi."
"Menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya."
Lagian kalo definisinya kayak gitu mah Ungu Band juga tahu, "menjalankan segala perintah-Mu, menjauhi sgala larangan-Mu adalah segenap doaku untuk-Mu..."
Bagi seorang "pengabdi nilai-nilai kebenaran" ia harus menjalani lima hal untuk meraih takwa.
Pertama, "ikhtiarusy syiddah 'alan ni'mah", berusaha atau bekerja keras dan meninggalkan bersenang-senang.
Kedua, "ikhtiarul juhdi 'alar roohati", memilih untuk berjuang menghadapi permasalahan kehidupan daripada harus selalu berpangku tangan menunggu bantuan dan uluran tangan orang lain.
Pantang menyerah menghadapi masalah. Tapi tidak mencari-cari masalah.
Ketiga, "ikhtiarudz dzulli 'alal 'izzi," memilih menjadi orang yang berposisi biasa-biasa saja, tidak terkenal, nggak nge-top, tidak mengejar selebritas apalagi mencari-cari sensasi dengan membuat hal-hal yang menimbulkan kontroversi, misalnya.
Orientasi, energi, dan obsesi hidupnya tidak dihabiskan serta tidak untuk mengejar, "al izzi", kekuasaan atau kekuatan sehingga dia merasa lebih hebat dari orang lain.
Keempat, "iktiarus sukuut 'alal fudhuul", memilih diam daripada banyak bicara dengan niat agar orang lain menilai kita lebih memiliki "al fudhuul", keunggulan atau kepintaran.
Kecuali berbicara yang bermanfaat dan memberikan kemaslahatan sosial. Diam terkadang memang emas. Tapi berbicara saat dibutuhkan bisa merubah batu biasa menjadi batu permata.
Jadi tidak selamanya selalu diam itu baik dan ngomong terus juga jelek. Semua harus proporsional. Harus pas tempat dan kebutuhannya.
Kelima, "ikhtiarul mauuti 'alal hayati," memilih mempersiapkan diri untuk kematian daripada pusing mikirin kehidupan atau lebih memilih membunuh nafsu daripada memelihara dan membiarkannya hidup dalam jiwa kita.
Banyak orang ingin bertakwa tapi banyak yang tak tahu jalannya. "Iya tapi kan lumayan sudah banyak laki-laki yang sudah bisa memakai baju 'takwa' alias baju koko," celetuk seseorang di belakang saya.
Langganan:
Postingan (Atom)