Senin, 30 Maret 2009

Masyarakat Bunglon?

Sabtu, 280309

Masyarakat Bunglon?

Oleh: Mohamad Istihori

"Kok banyak masyarakat kita yang nggak jelas sih?" ujar Semplur membuka dialog dini hari ini sambil menyerumput kopi.

"Nggak jelas gimana Plur?" tanya saya masih belum mengerti arah pembicaraan Semplur.

"Iya masa kemarin lusa ikut memeriahkan kampanye 'Partai Hijau Daun', kemarinnya berbondong-bondong ikut 'Partai Merah Darah', dan hari ini beramai-ramai ikut 'Partai Kuning Langsat'."

"Kayak bunglon aja iya Plur?" ujar saya.

"Iya gitulah kira-kira masyarakat kita," Semplur menyetujui 'hipotesa' saya.

Tapi bukan Semplur namanya kalau tidak segera membuat antitesa atas sebuah hipotesa yang ia sepakati, "Tapi kita nggak bisa dong menyalahkan rakyat sepenuhnya. Namanya juga orang dibayar, nggak salah dong mereka kayak gitu?

Lagi pula kan nggak setiap hari ada orang yang mikirin rakyat, tiba-tiba baik hatinya bukan main: bagi-bagi duit, sembako, kaos, bola, jilbab, dan kartu namanya.

Nanti kalo udah dapat jabatan paling-paling mereka petantang-petenteng di depan rakyat." ujar Semplur.

"Itu mah masih mending Plur. Yang nyakitin rakyat itu, ketika mereka melakukan korupsi super canggih yang dijalankan dengan sistematis, dan disepkati bersama untuk mengembalikan jutaan rupiah yang mereka kucurkan ketika kampanye." saya mencoba menimpali.

Saya pun melanjutkan obrolan santai dini hari ini dengan bertanya, "Bukankah semua yang mereka lakukan selama ini justru mengorbankan ideologi?"

"Alah kamu hari gini ngomong ideologi? Udah nggak zaman kali! Emang masih ada apa partai yang jadi kontestan Pemilu 2009 ini yang benar-benar memperjuangkan ideologi kerakyatan?" kata Semplur.

"Ada! Saya yakin masih ada kok partai yang benar-benar memperjuangkan aspirasi rakyat." kata saya penuh optimisme.

"Iya ada tapi jumlahnya kalah banyak dan kalah populer dengan partai yang justru mencari keuntungan. Rakyat hanya dijadikan tunggangan.

Rakyat dikibulin lima tahun sekali, diberi seribu janji manis (sekolah gratis lah, pendidikan nggak perlu bayar lah, sembako murah lah). Nyatanya? Nol besar. Semua cuma omong kosong!" ujar Semplur dengan gaya bicara pedasnya yang sudah jadi ciri khas.

"Kamu kok jadi pesimistis gitu sih Plur?" tanya saya.

"Saya bukannya pesimis. Saya hanya capek dikibulin melulu." bela Semplur sambil menghisap rokoknya yang hampir habis itu.

"Iya Plur capek iya" kata saya.

"Cuapek deehh." ujar Semplur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar