Ponpes al Hidayah Cibubur, Kamis, 121109
Pengemis dan Pejuang
Oleh: Mohamad Istihori
Tulisan ini lahir dari harapan saya untuk mengenang seluruh jasa para pahlawan yang kemarin, sekarang, dan esok yang dengan penuh keikhlasan mengabdikan segenap jiwa, raga, dan harta yang ia miliki untuk kemajuan, kemerdekaan, dan kesejahteraan lingkungan sekitar dan bangsanya tanpa menelantarkan diri dan keluarganya sendiri.
Namun saya sangat berduka cita karena sosok pahlawan seperti itu sudah sangat jarang kita temui. Yang justru banyak saya jumpai belakangan ini adalah orang-orang yang bermental pengemis, berjiwa peminta-minta, dan berkarakter kerdil.
Mental pengemis yang saya maksud di sini adalah banyaknya orang yang kerjaanya aja belum kelihatan, kredibilitasnya aja belum terbukti, kejujuran mentalnya masih diragukan udah minta naik gaji, udah minta tunjangan ini-itu yang tidak mengindahkan keadaan rakyatnya yang sedang kena musibah di mana-mana.
Belum kerja udah minta imbalan. Tanpa berpikir rakyat yang mereka jadikan tumbal. Semestinya inisiatif kenaikan gaji itu lahir murni dari rakyat sebagai majikan mereka bukan melalui inisatif mereka dengan mengatasnamakan rakyat menggunakan kedulatan parpol. Ini kan negara dengan kedulatan rakyat bukan kedaulatan parpol.
Ada baiknya mungkin kita kembali belajar dari pahlawan kita terdahulu yang tidak memperdulikan mereka digaji atau tidak, keluarganya mendapat tunjangan dari pemerintah atau tidak tapi mereka rela melakukan apa saja untuk merebut kemerdekaan dari tangan penjajah.
Bahkan mereka yang hidup sampai hari ini diterlantarkan oleh pihak yang semestinya bertanggung jawab untuk mengurus kesejahteraan para veteran perang itu.
Sedangkan pengemis bangsa ini selalu menuntut hak asasinya tanpa membuktikan terlebih dahulu apakah mereka telah menunaikan kewajiban asasinya sebagai pelayan rakyat atau belum.
Selama mental kita masih bermental pengemis jangan harap akan lahir pejuang-pejuang masa depan sebagaimana yang kita miiki dulu saat merebut kemerdekaan dari tangan penjajah.
Pahlawan tidak akan lahir dari bangsa pengemis yang selalu mengantungkan nasibnya pada negara super power. Pahlawan hanya akan lahir dari bangsa yang mandiri dan percaya diri dengan kekuatan dan potensi yang ia miliki.
Wahai jiwa-jiwa pahlawan lahirlah kembali! Bangkitlah! Bangunlah! Kami semua merindukanmu!
Jumat, 13 November 2009
Alim atau Arif?
Cibubur, Ahad, 011109
Alim atau Arif?
Oleh: Mohamad Istihori
Siapakah yang dimaksud dengan orang Alim itu? Ditinjau dari segi bahasa Alim itu sendiri berasa dari kata 'alam-ya'lamu-'ilman-fahuwa 'aalimun. Artinya orang yang mengetahui atau orang yang berilmu.
"Loh lalu bagaimana dengan 'arofa-ya'rifu-'irfaan-fahuwa 'aarifun? Bukankah artinya juga 'mengetahui'?"
Iya arti antara dua lafadz tersebut memang sama-sama "tahu". Tapi kalau kita telaah lebih mendalam sebenarnya beda.
"Apa bedanya?"
Bedanya adalah kalau 'alima itu tahu tapi hanya secara garis besarnya saja. Beda dengan 'arofa yang tahu secara mendetail. Itulah maka beda antara 'aalim dengan 'aarif.
'Aalim adalah orang yang pengetahuannya bersifat global. Ia tahu sedikit tentang banyak hal. Ini memang sangat diperlukan oleh seorang alim (yang jama'-nya adalah 'ulamaa) karena seorang alim akan berhadapan langsung dengan segala macam kompleksitas permasalahan masyarakat di mana ia bertempat tinggal.
Kalau ulama hanya mengetahui sedikit ilmu apalagi tidak berilmu maka dia akan kebingungan menghadapi permasalahan masyarakatnya. Dan, kadang karena frustasi mereka cenderung memilih cara-cara kekerasan.
Ulama itu selain harus memiliki pemahaman agama yang mendalam ia juga harus melengkapi dirinya dengan pengetahuan sosial seperti sosiologi, antropologi, dan ilmu budaya. Lebih oke lagi kalau dia mumpuni dalam bidang psikologi.
Sedangkan arif adalah orang yang tahu banyak tentang sedikit hal. Dia adalah orang yang mengabdikan hidupnya hanya untuk satu bidang ilmu pengetahuan.
Sekarang pilihan ada di tangan anda mau jadi orang alim atau mau jadi orang arif? Atau mau kedua-duanya? Atau tidak memilih satu pun di antara kedua pilihan tersebut? Atau anda memang memiliki pilihan lain selain alim dan arif?
Alim atau Arif?
Oleh: Mohamad Istihori
Siapakah yang dimaksud dengan orang Alim itu? Ditinjau dari segi bahasa Alim itu sendiri berasa dari kata 'alam-ya'lamu-'ilman-fahuwa 'aalimun. Artinya orang yang mengetahui atau orang yang berilmu.
"Loh lalu bagaimana dengan 'arofa-ya'rifu-'irfaan-fahuwa 'aarifun? Bukankah artinya juga 'mengetahui'?"
Iya arti antara dua lafadz tersebut memang sama-sama "tahu". Tapi kalau kita telaah lebih mendalam sebenarnya beda.
"Apa bedanya?"
Bedanya adalah kalau 'alima itu tahu tapi hanya secara garis besarnya saja. Beda dengan 'arofa yang tahu secara mendetail. Itulah maka beda antara 'aalim dengan 'aarif.
'Aalim adalah orang yang pengetahuannya bersifat global. Ia tahu sedikit tentang banyak hal. Ini memang sangat diperlukan oleh seorang alim (yang jama'-nya adalah 'ulamaa) karena seorang alim akan berhadapan langsung dengan segala macam kompleksitas permasalahan masyarakat di mana ia bertempat tinggal.
Kalau ulama hanya mengetahui sedikit ilmu apalagi tidak berilmu maka dia akan kebingungan menghadapi permasalahan masyarakatnya. Dan, kadang karena frustasi mereka cenderung memilih cara-cara kekerasan.
Ulama itu selain harus memiliki pemahaman agama yang mendalam ia juga harus melengkapi dirinya dengan pengetahuan sosial seperti sosiologi, antropologi, dan ilmu budaya. Lebih oke lagi kalau dia mumpuni dalam bidang psikologi.
Sedangkan arif adalah orang yang tahu banyak tentang sedikit hal. Dia adalah orang yang mengabdikan hidupnya hanya untuk satu bidang ilmu pengetahuan.
Sekarang pilihan ada di tangan anda mau jadi orang alim atau mau jadi orang arif? Atau mau kedua-duanya? Atau tidak memilih satu pun di antara kedua pilihan tersebut? Atau anda memang memiliki pilihan lain selain alim dan arif?
Kamis, 12 November 2009
Kontroversi Peci
Cibubur, Jum'at, 131109
Kontroversi Peci
Oleh: Mohamad Istihori
Mat Semplur yang hari-hari biasanya tidak pernah memakai peci, kini terlihat selalu memakai peci ke mana pun ia pergi. Melihat kelakuannya yang "janggal" itu Kiai Jihad bertanya, "Plur kenapa tiba-tiba ente make peci kemana-mana? Tumben banget sih lu?"
Mendengar pertanyaan gurunya itu, Mat Semplur menjawab, "Saya ini orang yang sangat lemah iman guru. Kalau saya tidak memakai peci ke mana-mana niscaya saya tidak akan kuat menghadapi keadaan zaman sekarang."
"Lalu apa hubungannya peci dengan iman yang lemah?"
"Iya setidaknya kan kalau kita make peci akan ada tanggung jawab moral yang otomatis akan tertanam dalam diri kita. Jadi kalau mau maksiat malu gitu loh. Masa udah pake peci masih doyan maksiat aja."
"Nggak baik Plur beragama hanya secara formalitas."
"Bagi orang yang sudah kuat imannya tidak akan masalah ia akan berpakaian seperti apa pun. Asalkan menutup aurat. Tapi bagi saya, sebagai pemula dan orang yang baru belajar Islam sangat membutuhkan peci untuk menjaga saya dari perbuatan maksiat."
"Iya udah nggak apa-apa asalkan niat kamu make peci seperti itu nggak jadi masalah."
"Loh emangnya ada Pak Kiai, orang yang pake peci yang menimbulkan masalah?"
"Iya sangat banyak Plur. Di antaranya, peci menjadi masalah ketika ia menjadi ukuran iman seseorang.
Peci menjadi masalah ketika orang yang pengen dihormati, mendapat jabatan, pengen dipanggil Ustadz padahal kelakuan kayak bangsat pake peci.
Mereka menjadikan peci hanya sebagai topeng agama yang mereka harapkan bisa mengelabui umat dan jama'ahnya.
Makanya kamu harus bisa ngebedain dong antara agama dengan budaya!"
"Maksud Pak Kiai apa?" tanya Semplur penasaran.
"Iya kalau budaya itu adalah hasil karya manusia untuk bisa mendekatkan diri pada Tuhannya. Sedangkan agama adalah nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan yang langsung turun dari Tuhan yang sudah pasti kebenarannya." jelas Kiai Jihad.
"Lalu peci itu budaya apa agama Pak Kiai?"
"Iya jelas budaya lah. Peci itu sebagaimana sholawatan, wirid setelah sholat, dan berbagai produk akal dan hati manusia yang dipakai oleh manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Jadi silahkan saja kamu sholawatan, pake peci ke mana pun kamu pergi, atau kamu wirid setelah sholat asalkan tanamkan dalam dirimu bahwa semua itu hanya produk budaya manusia.
Sehingga tidak ada jaminan orang yang selalu sholawatan, senantiasa berpeci, atau berserban adalah orang memahami agama dan dekat dengan Tuhan." ujar Kiai Jihad.
Kontroversi Peci
Oleh: Mohamad Istihori
Mat Semplur yang hari-hari biasanya tidak pernah memakai peci, kini terlihat selalu memakai peci ke mana pun ia pergi. Melihat kelakuannya yang "janggal" itu Kiai Jihad bertanya, "Plur kenapa tiba-tiba ente make peci kemana-mana? Tumben banget sih lu?"
Mendengar pertanyaan gurunya itu, Mat Semplur menjawab, "Saya ini orang yang sangat lemah iman guru. Kalau saya tidak memakai peci ke mana-mana niscaya saya tidak akan kuat menghadapi keadaan zaman sekarang."
"Lalu apa hubungannya peci dengan iman yang lemah?"
"Iya setidaknya kan kalau kita make peci akan ada tanggung jawab moral yang otomatis akan tertanam dalam diri kita. Jadi kalau mau maksiat malu gitu loh. Masa udah pake peci masih doyan maksiat aja."
"Nggak baik Plur beragama hanya secara formalitas."
"Bagi orang yang sudah kuat imannya tidak akan masalah ia akan berpakaian seperti apa pun. Asalkan menutup aurat. Tapi bagi saya, sebagai pemula dan orang yang baru belajar Islam sangat membutuhkan peci untuk menjaga saya dari perbuatan maksiat."
"Iya udah nggak apa-apa asalkan niat kamu make peci seperti itu nggak jadi masalah."
"Loh emangnya ada Pak Kiai, orang yang pake peci yang menimbulkan masalah?"
"Iya sangat banyak Plur. Di antaranya, peci menjadi masalah ketika ia menjadi ukuran iman seseorang.
Peci menjadi masalah ketika orang yang pengen dihormati, mendapat jabatan, pengen dipanggil Ustadz padahal kelakuan kayak bangsat pake peci.
Mereka menjadikan peci hanya sebagai topeng agama yang mereka harapkan bisa mengelabui umat dan jama'ahnya.
Makanya kamu harus bisa ngebedain dong antara agama dengan budaya!"
"Maksud Pak Kiai apa?" tanya Semplur penasaran.
"Iya kalau budaya itu adalah hasil karya manusia untuk bisa mendekatkan diri pada Tuhannya. Sedangkan agama adalah nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan yang langsung turun dari Tuhan yang sudah pasti kebenarannya." jelas Kiai Jihad.
"Lalu peci itu budaya apa agama Pak Kiai?"
"Iya jelas budaya lah. Peci itu sebagaimana sholawatan, wirid setelah sholat, dan berbagai produk akal dan hati manusia yang dipakai oleh manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Jadi silahkan saja kamu sholawatan, pake peci ke mana pun kamu pergi, atau kamu wirid setelah sholat asalkan tanamkan dalam dirimu bahwa semua itu hanya produk budaya manusia.
Sehingga tidak ada jaminan orang yang selalu sholawatan, senantiasa berpeci, atau berserban adalah orang memahami agama dan dekat dengan Tuhan." ujar Kiai Jihad.
Tuhan Isa atau Tuhan Adam?
Tafsir Jalalain: Hal. 53
Cibubur, Rabu, 111109
Tuhan Isa atau Tuhan Adam?
Oleh: Mohamad Istihori
Allah SWT berfirman, "Inna matsala 'Iisa 'indallahi kamatsali Aadam. Kholaqohu min turoobin tsumma qoola lahu kun fayakuun. Al haqqu mir robbika falaa takum minal mumtariin."
Artinya: "Sesungguhnya perumpamaan Isa di sisi Allah itu seperti Adam. Allah telah menciptakan Isa dari tanah kemudian Ia berkata: 'Jadi!'. Maka jadilah. Kebenaran itu bersumber dari Tuhanmu. Maka janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu."
Kalau ada pihak yang menjadikan Isa sebagai Tuhan karena ia lahir tanpa seorang ayah, maka sebenarnya yang lebih berhak untuk dituhankan adalah Adam.
"Mengapa?"
Iya karena kalau Isa itu masih ada ibu. Masih ada lahan di mana janin ditanam yaitu rahim. Tapi kalau Adam lebih "aneh". Adam hadir ke alam tanpa ada perantara ibu dan bapak. Maka sebenarnya secara logika aja yang lebih "dahsyat" itu sebenarnya Adam.
"Mengapa juga kok Adam disamain sama Isa? Kan beda! Kalau Isa itu jelasa ada ibunya meski tidak punya bapak. Tapi kalau Adam kan emang nggak punya bapak dan ibu?"
Hal ini memang disengaja. Sebagaimana alasan yang telah penulis ungkapkan. Kalau ada orang yang aneh dengan Isa yang lahir tanpa bapak dengan hanya ada ibu sehingga dengan alasan itu orang menuhankan Isa, kan ada yang asyaddu ghoriiban (ada yang lebih aneh lagi) yaitu Adam yang hadir tanpa ada perantara ibu dan bapak.
Semestinya, logikanyakan Adam dong yang lebih berhak mereka Tuhan-kan dari pada Isa. Makanya biar nggak ragu dan nggak nanggung jadikanlah zat yang menciptakan Adam dan Isa sebagai Tuhan. Biar tidak ada lagi keraguaan dalam beragama.
Maka di akhir firman-Nya Allah berujar, al haqqu mir robbika falaa takum minal mumtariin. (Kebenaran itu bersumber dari Tuhanmu maka janganlah sekali-kali kamu termasuk menjadi orang-orang yang ragu).
Keyakinan tanpa alasan rasional yang kuat adalah keraguan. Meskipun dalam mengenal Tuhan lebih mendalam kita tidak bisa selalu mengandalkan akal kita yang penuh dengan segala keterbatasan ini.
Tapi setidaknya kita bisa memaksimalkan fungsi akal kita untuk mendekati kebenaran dan mengenal Tuhan melalui apa saja yang bisa kita pelajari. Baik melalui kitab-kitab suci-Nya yang belum diubah oleh manusia, melalui alam sekitar, tumbuhan, hewan, manusia, dan makhluk halus Allah lainnya.
Keyakinan yang dipaksakan apalagi dihasilkan dari ancaman dan perang hanya akan menambah keraguan dan kebimbangan hati orang-orang yang meyakininya.
Keyakinan sejati adalah keyakinan yang benar-benar kepada kebenaran hakiki. Orang yang pegangan hidupnya kuat tidak akan mencla-mencle, nggak bakal kebingungan dalam menjalani kehidupan, dan tidak akan mudah terpengaruh oleh perubahan zaman kecuali yang sesuai dengan nilai dan moral agama sejati.
So silahkan carilah Tuhan yang sebenar-benarnya pantas untuk kita Tuhan-kan. Jangan menuhankan makhluk dan jangan memakhlukkan Tuhan. Sungguh-sungguh dan teruslah berlajar dalam agama yang kini kita yakini maka kita akan bertemu Tuhan yang sesungguhnya. Goog luck! Ma'an najah!
Cibubur, Rabu, 111109
Tuhan Isa atau Tuhan Adam?
Oleh: Mohamad Istihori
Allah SWT berfirman, "Inna matsala 'Iisa 'indallahi kamatsali Aadam. Kholaqohu min turoobin tsumma qoola lahu kun fayakuun. Al haqqu mir robbika falaa takum minal mumtariin."
Artinya: "Sesungguhnya perumpamaan Isa di sisi Allah itu seperti Adam. Allah telah menciptakan Isa dari tanah kemudian Ia berkata: 'Jadi!'. Maka jadilah. Kebenaran itu bersumber dari Tuhanmu. Maka janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu."
Kalau ada pihak yang menjadikan Isa sebagai Tuhan karena ia lahir tanpa seorang ayah, maka sebenarnya yang lebih berhak untuk dituhankan adalah Adam.
"Mengapa?"
Iya karena kalau Isa itu masih ada ibu. Masih ada lahan di mana janin ditanam yaitu rahim. Tapi kalau Adam lebih "aneh". Adam hadir ke alam tanpa ada perantara ibu dan bapak. Maka sebenarnya secara logika aja yang lebih "dahsyat" itu sebenarnya Adam.
"Mengapa juga kok Adam disamain sama Isa? Kan beda! Kalau Isa itu jelasa ada ibunya meski tidak punya bapak. Tapi kalau Adam kan emang nggak punya bapak dan ibu?"
Hal ini memang disengaja. Sebagaimana alasan yang telah penulis ungkapkan. Kalau ada orang yang aneh dengan Isa yang lahir tanpa bapak dengan hanya ada ibu sehingga dengan alasan itu orang menuhankan Isa, kan ada yang asyaddu ghoriiban (ada yang lebih aneh lagi) yaitu Adam yang hadir tanpa ada perantara ibu dan bapak.
Semestinya, logikanyakan Adam dong yang lebih berhak mereka Tuhan-kan dari pada Isa. Makanya biar nggak ragu dan nggak nanggung jadikanlah zat yang menciptakan Adam dan Isa sebagai Tuhan. Biar tidak ada lagi keraguaan dalam beragama.
Maka di akhir firman-Nya Allah berujar, al haqqu mir robbika falaa takum minal mumtariin. (Kebenaran itu bersumber dari Tuhanmu maka janganlah sekali-kali kamu termasuk menjadi orang-orang yang ragu).
Keyakinan tanpa alasan rasional yang kuat adalah keraguan. Meskipun dalam mengenal Tuhan lebih mendalam kita tidak bisa selalu mengandalkan akal kita yang penuh dengan segala keterbatasan ini.
Tapi setidaknya kita bisa memaksimalkan fungsi akal kita untuk mendekati kebenaran dan mengenal Tuhan melalui apa saja yang bisa kita pelajari. Baik melalui kitab-kitab suci-Nya yang belum diubah oleh manusia, melalui alam sekitar, tumbuhan, hewan, manusia, dan makhluk halus Allah lainnya.
Keyakinan yang dipaksakan apalagi dihasilkan dari ancaman dan perang hanya akan menambah keraguan dan kebimbangan hati orang-orang yang meyakininya.
Keyakinan sejati adalah keyakinan yang benar-benar kepada kebenaran hakiki. Orang yang pegangan hidupnya kuat tidak akan mencla-mencle, nggak bakal kebingungan dalam menjalani kehidupan, dan tidak akan mudah terpengaruh oleh perubahan zaman kecuali yang sesuai dengan nilai dan moral agama sejati.
So silahkan carilah Tuhan yang sebenar-benarnya pantas untuk kita Tuhan-kan. Jangan menuhankan makhluk dan jangan memakhlukkan Tuhan. Sungguh-sungguh dan teruslah berlajar dalam agama yang kini kita yakini maka kita akan bertemu Tuhan yang sesungguhnya. Goog luck! Ma'an najah!
Selasa, 10 November 2009
Orang-orang yang Sombong (Bag. II)
Tafsir Jalalain: hal. 77 (Surat an Nisa: 37)
Cibubur, Jum'at, 061109
Orang-orang yang Sombong (Bag. II)
Oleh: Mohamad Istihori
...Dalam keadaan "terdesak" itulah kemudian malaikat berkata, "Wahai hamba Allah yang sholehah keluarkanlah tanganmu."
Akhirnya ia pun "nekat" mengeluarkan tangannya dari baju kurungnya dan subhaanallah tangan kanannya yang dulu hilang dipotong oleh ayahnya yang bakhil itu kembali.
Itulah sepenggal cerita bagi kita bahwa dengan sifat bakhil tidak akan menjadikan kita kaya malah justru menjadikan kita miskin dan sengsara. Malah ada saja orang yang akan mendo'akan kita, "Ya Allah ambillah harta hamba-Mu yang bakhil itu." Na'udzubillahi min dzaalik.
Ketiga, di antara indikasi orang sombong itu adalah wa yaktumuuna maa ataahumullau min fadhlih = Dan, orang-orang yang suka menyembunyikan segala hal yang telah Allah anugerahkan dari fadhilah-Nya. Dalam Tafsir Jalalain ditarsirkan (minal 'ilmi wal maali = Dari ilmu dan harta).
Dari manakan asalnya ilmu dan harta yang kita miliki sekarang? Tentu saja dari Allah SWT bukan. Tapi terkadang kita justru menyembunyikannya. Kalau dalam hal ilmu kita takut disaingin dan kalau soal harta kita takut miskin. Kalau ditanya jawabnya selalu, "Saya mah nggak tahu!" Padahal kita tahu. Itu berarti kita termasuk orang yang sombong.
Makanya biar nggak dibilang sombong saya suka share ilmu yang saya dapat, termasuk melalui catatan FB tapi kadang hal itu justru memancing orang lain untuk kerap menganggap saya sombong.
Tapi hal itu tidak menyurutkan niat saya karena tidak ada sedikit pun terselip dalam hati saya untuk merasa paling bisa. Justru dari sering menuliskan pengalaman dan pelajaran hidup itulah saya banyak mendapat ilmu yang belum pernah saya dapat sebelumnya.
Bukan hanya kepada sesama manusia, ternyata terhadap Allah pun kita secara tidak sengaja dan tidak sadar kadang menyembunyikan nikmat yang telah Allah berikan.
Misalnya dalam berdo'a kita suka berkata, "Bagaimana ya Allah saya ini nggak punya apa-apa. Hidup kayak gini terus. Nggak maju-maju dan tak mengalami perubahan yang lebih signifikan."
Hati-hati karena itu juga termasuk meniadakan nikmat melimpah yang telah Allah limpahkan dalam hidup kita. Ada baiknya kalau mau berdo'a, "Ya Allah! Engkau telah memberikan nikmat yang sangat tidak terkirakan bentuknya. Maka berkahi dan sempurnakanlah rezeki kami ini dengan ridho-Mu ya Allah."
Wa a'tadnaa lil kaafiriina = Dan, kami ancam kepada orang-orang kafir yang telah menyombongkan diri itu...'Adzaabam muhiinaa = Siksaan yang menjadikan mereka hina dina dan tanggal semua kehormatan serta harga dirinya.
Cibubur, Jum'at, 061109
Orang-orang yang Sombong (Bag. II)
Oleh: Mohamad Istihori
...Dalam keadaan "terdesak" itulah kemudian malaikat berkata, "Wahai hamba Allah yang sholehah keluarkanlah tanganmu."
Akhirnya ia pun "nekat" mengeluarkan tangannya dari baju kurungnya dan subhaanallah tangan kanannya yang dulu hilang dipotong oleh ayahnya yang bakhil itu kembali.
Itulah sepenggal cerita bagi kita bahwa dengan sifat bakhil tidak akan menjadikan kita kaya malah justru menjadikan kita miskin dan sengsara. Malah ada saja orang yang akan mendo'akan kita, "Ya Allah ambillah harta hamba-Mu yang bakhil itu." Na'udzubillahi min dzaalik.
Ketiga, di antara indikasi orang sombong itu adalah wa yaktumuuna maa ataahumullau min fadhlih = Dan, orang-orang yang suka menyembunyikan segala hal yang telah Allah anugerahkan dari fadhilah-Nya. Dalam Tafsir Jalalain ditarsirkan (minal 'ilmi wal maali = Dari ilmu dan harta).
Dari manakan asalnya ilmu dan harta yang kita miliki sekarang? Tentu saja dari Allah SWT bukan. Tapi terkadang kita justru menyembunyikannya. Kalau dalam hal ilmu kita takut disaingin dan kalau soal harta kita takut miskin. Kalau ditanya jawabnya selalu, "Saya mah nggak tahu!" Padahal kita tahu. Itu berarti kita termasuk orang yang sombong.
Makanya biar nggak dibilang sombong saya suka share ilmu yang saya dapat, termasuk melalui catatan FB tapi kadang hal itu justru memancing orang lain untuk kerap menganggap saya sombong.
Tapi hal itu tidak menyurutkan niat saya karena tidak ada sedikit pun terselip dalam hati saya untuk merasa paling bisa. Justru dari sering menuliskan pengalaman dan pelajaran hidup itulah saya banyak mendapat ilmu yang belum pernah saya dapat sebelumnya.
Bukan hanya kepada sesama manusia, ternyata terhadap Allah pun kita secara tidak sengaja dan tidak sadar kadang menyembunyikan nikmat yang telah Allah berikan.
Misalnya dalam berdo'a kita suka berkata, "Bagaimana ya Allah saya ini nggak punya apa-apa. Hidup kayak gini terus. Nggak maju-maju dan tak mengalami perubahan yang lebih signifikan."
Hati-hati karena itu juga termasuk meniadakan nikmat melimpah yang telah Allah limpahkan dalam hidup kita. Ada baiknya kalau mau berdo'a, "Ya Allah! Engkau telah memberikan nikmat yang sangat tidak terkirakan bentuknya. Maka berkahi dan sempurnakanlah rezeki kami ini dengan ridho-Mu ya Allah."
Wa a'tadnaa lil kaafiriina = Dan, kami ancam kepada orang-orang kafir yang telah menyombongkan diri itu...'Adzaabam muhiinaa = Siksaan yang menjadikan mereka hina dina dan tanggal semua kehormatan serta harga dirinya.
Orang-orang yang Sombong
Tafsir Jalalain: hal. 77 (Surat an Nisa: 37)
Cibubur, Jum'at, 061109
Orang-orang yang Sombong
Oleh: Mohamad Istihori
Teman-teman Jama'ah Fesbukiyah yang dimuliakan oleh Allah SWT marilah kita lanjutkan pengajian Tafsir Jalalain kita yang masih membahas halaman 77 surat an Nisa ayat 37.
"Kok panjang banget dari kemarin masih aja membahas halaman 77? Kok nggak pindah-pindah sih?"
"Lah iya lah namanya juga tadarusan. Kalau tadarusan itu bukan ngejar khatamnya sebagaimana yang biasa kita lakukan selama ini terutama di bulan Ramadhan. Yang dikejar dalam tadarusan itu penyelaman, pemahaman, dan pembahasan dari firman Tuhan."
Allah SWT berfirman dalam surat an Nisa ayat 37:"Alladziina yabkholuuna wa ya-muruunan naasa bil bukhli wa yaktumuuna maa aataahumullahu ming fadhlihi wa a'tadnaa lil kaafiriina 'adzaabam muhiinaa.
"Orang-orang yang sombong adalah orang-orang yang bakhil, menyuruh manusia untuk bakhil, dan menyembunyikan segala yang telah Allah berikan kepada mereka dari keutamaan Allah. Dan, Kami ancam bagi orang-orang kafir dengan azab yang menghinakan."
Menurut sebagian penafsiran, surat an Nisa ayat 37 ini merupakan sambungan dari ayat sebelumnya (surat an Nisa ayat 36).
Jika kita me-review sejenak, pada akhir ayat 36 Allah berfirman, "Innallaha laa yuhibbu mang kaana mukhtaalang fakhuuroo." Melalui ayat 36 maka ini akan timbul pertanyaan, "Siapakah orang yang tidak disukai, tidak dicintai, atau dibenci oleh Allah dan termasuk orang-orang yang sombong itu?"
Sedangkan menurut penafsiran lain, ayat 37 surat an Nisa ini merupakan ayat yang membahas permasalahan baru dengan memposisikan awal ayatnya sebagai mubtada.
Nah penulis pun akhirnya memilih bahwa ayat ini memiliki sambungan dengan ayat sebelumnya. Maka sekarang pertanyaan kunci berikutnya adalah, "Siapa saja kah orang-orang yang termasuk orang yang dibenci Allah lagi sombong itu?"
Pertama, al ladziina yabkholuuna, orang-orang yang bakhil, pelit, medit, atau "buntut gasiran".
"Pelit terhadap apa?"
Dalam Tafsir Jalalain (TJ) diterangkan, bimaa yajibu 'alaihim, mereka itu pelit-koret terhadap apa-apa yang telah Allah wajibkan kepada mereka.
Istilah bakhil biasanya dipakai untuk orang yang hanya pelit terhadap harta saja. Sedangkan kalau seseorang itu pelit dalam segala hal diistilahkan dengan sukhkhun.
Kedua, yang termasuk orang sombong juga adalah wa ya-muruunan naasa bil bukhli, nyuruh orang lain agar pelit.
Secara langsung atau tidak langsung, sadar atau tidak sadar kita sebagai orang tua kadang mengajak bahkan sampai mengajarkan anak kita sendiri untuk menjadi orang yang bakhil.
Ketika anak kita memberikan bantuan kepada orang yang memang membutuhkan pertolongannya kita kerap berkata, "Kamu ngapain sih bantuin dia? Cuma nyusahin diri kamu sendiri aja tahu."
KH. Yana Jihadul Hidayah menceritakan, pada zaman dulu, pada masyarakat Yahudi (Bani Israil) hiduplah seorang anak perempuan yang sangat cantik dari orang tua yang sangat kaya raya.
Suatu hari datanglah kepada sang anak perempuan itu, seorang miskin papa yang meminta belas kasihan darinya agar berkenan memberikan "sesuap nasi".
"Mbak tolong saya. Saya udah beberapa hari nih nggak makan." pinta peminta-minta itu.
Karena tidak tega dan iba, maka si anak perempuan itu pun langsung memberikan roti kepada si pengemis itu.
"Terima kasih banget mbak udah mau berbaik hati sama saya." ujar si pemuda.
"Iya sama-sama." balas si pemudi.
Begitu pengemis muda itu pergi, sang ayah langsung naik pitam melihat anaknya telah "salah mengalokasikan dana". Tanpa "ba-bi-bu" dan nggak pake basa-basi, si bapak langsung memotong tangan kanan anak perempuannya itu.
Zaman berganti. Ibarat roda pedati, nasib orang itu pasti berganti. Yang dulu kaya raya, sekarang miskin papa. Yang dulu miskin dan bangsak, kini kayanya bukan main.
Begitu juga yang terjadi dengan si perempuan kaya dan pengemis itu. Si perempuan beserta keluarga kini menjadi miskin. Bahkan sang ayah, yang dulu bakhil dengan kekayaannya mati dalam keadaan miskin.
Sang anak perempuan pun dengan sangat terpaksa akhirnya menjadi pengemis untuk sekedar bertahan hidup. Singkat cerita, tibalah si anak perempuan ini di sebuah rumah mewah milik orang kaya.
Begitu mengetuk pintu ia pun disambut hangat oleh tua rumah yang merupakan ibu dari pemilik rumah mewah tersebut. Dengan belas iba dan kasih si ibu berkata dalam hatinya, "Duh kasian banget nih bocah. Cantik-cantik tapi sayang jadi pengemis. Ada baiknya saya ambil menantu aja."
Akhirnya si pengemis cantik itu pun menikah dengan pemuda kaya raya itu. Karena pada waktu itu wanita dewasa semua memakai cadar maka pemuda itu tidak tahu bahwa wanita pengemis yang ia nikahi kini merupakan yang dulu anak orang kaya yang telah membantunya sampai si perempuan itu dipotong tangan oleh ayahnya sendiri yang ketika masih hidup terkenal sangat bakhil di tempat itu.
Ketika keluarga besar ini makan malam, saat seorang pembantu rumah mewah itu menawarkan makanan kepada si perempuan, ia tidak menerimanya dengan tangan kanan sebagaimana mestinya. Ia malah menerimanya dengan tangan kirinya.
Si ibu dalam hatinya bertanya-tanya, "Ini kok makan dan menerima makanannya pake tangan kiri bukan pake tangan kanan." Akhirnya sang ibu memberanikan diri untuk berkata kepada menantunya itu, "Ukrujii yadakil yumna!" (Keluarkanlah tangan kananmu!).
Si menantu perempuan pun kelimpungan. Dia sangat kebingungan dan tentu saja sangat malu kalau ketahuan bahwa tangan kanannya buntung. Dalam keadaan "terdesak" itulah kemudian malaikat...
Cibubur, Jum'at, 061109
Orang-orang yang Sombong
Oleh: Mohamad Istihori
Teman-teman Jama'ah Fesbukiyah yang dimuliakan oleh Allah SWT marilah kita lanjutkan pengajian Tafsir Jalalain kita yang masih membahas halaman 77 surat an Nisa ayat 37.
"Kok panjang banget dari kemarin masih aja membahas halaman 77? Kok nggak pindah-pindah sih?"
"Lah iya lah namanya juga tadarusan. Kalau tadarusan itu bukan ngejar khatamnya sebagaimana yang biasa kita lakukan selama ini terutama di bulan Ramadhan. Yang dikejar dalam tadarusan itu penyelaman, pemahaman, dan pembahasan dari firman Tuhan."
Allah SWT berfirman dalam surat an Nisa ayat 37:"Alladziina yabkholuuna wa ya-muruunan naasa bil bukhli wa yaktumuuna maa aataahumullahu ming fadhlihi wa a'tadnaa lil kaafiriina 'adzaabam muhiinaa.
"Orang-orang yang sombong adalah orang-orang yang bakhil, menyuruh manusia untuk bakhil, dan menyembunyikan segala yang telah Allah berikan kepada mereka dari keutamaan Allah. Dan, Kami ancam bagi orang-orang kafir dengan azab yang menghinakan."
Menurut sebagian penafsiran, surat an Nisa ayat 37 ini merupakan sambungan dari ayat sebelumnya (surat an Nisa ayat 36).
Jika kita me-review sejenak, pada akhir ayat 36 Allah berfirman, "Innallaha laa yuhibbu mang kaana mukhtaalang fakhuuroo." Melalui ayat 36 maka ini akan timbul pertanyaan, "Siapakah orang yang tidak disukai, tidak dicintai, atau dibenci oleh Allah dan termasuk orang-orang yang sombong itu?"
Sedangkan menurut penafsiran lain, ayat 37 surat an Nisa ini merupakan ayat yang membahas permasalahan baru dengan memposisikan awal ayatnya sebagai mubtada.
Nah penulis pun akhirnya memilih bahwa ayat ini memiliki sambungan dengan ayat sebelumnya. Maka sekarang pertanyaan kunci berikutnya adalah, "Siapa saja kah orang-orang yang termasuk orang yang dibenci Allah lagi sombong itu?"
Pertama, al ladziina yabkholuuna, orang-orang yang bakhil, pelit, medit, atau "buntut gasiran".
"Pelit terhadap apa?"
Dalam Tafsir Jalalain (TJ) diterangkan, bimaa yajibu 'alaihim, mereka itu pelit-koret terhadap apa-apa yang telah Allah wajibkan kepada mereka.
Istilah bakhil biasanya dipakai untuk orang yang hanya pelit terhadap harta saja. Sedangkan kalau seseorang itu pelit dalam segala hal diistilahkan dengan sukhkhun.
Kedua, yang termasuk orang sombong juga adalah wa ya-muruunan naasa bil bukhli, nyuruh orang lain agar pelit.
Secara langsung atau tidak langsung, sadar atau tidak sadar kita sebagai orang tua kadang mengajak bahkan sampai mengajarkan anak kita sendiri untuk menjadi orang yang bakhil.
Ketika anak kita memberikan bantuan kepada orang yang memang membutuhkan pertolongannya kita kerap berkata, "Kamu ngapain sih bantuin dia? Cuma nyusahin diri kamu sendiri aja tahu."
KH. Yana Jihadul Hidayah menceritakan, pada zaman dulu, pada masyarakat Yahudi (Bani Israil) hiduplah seorang anak perempuan yang sangat cantik dari orang tua yang sangat kaya raya.
Suatu hari datanglah kepada sang anak perempuan itu, seorang miskin papa yang meminta belas kasihan darinya agar berkenan memberikan "sesuap nasi".
"Mbak tolong saya. Saya udah beberapa hari nih nggak makan." pinta peminta-minta itu.
Karena tidak tega dan iba, maka si anak perempuan itu pun langsung memberikan roti kepada si pengemis itu.
"Terima kasih banget mbak udah mau berbaik hati sama saya." ujar si pemuda.
"Iya sama-sama." balas si pemudi.
Begitu pengemis muda itu pergi, sang ayah langsung naik pitam melihat anaknya telah "salah mengalokasikan dana". Tanpa "ba-bi-bu" dan nggak pake basa-basi, si bapak langsung memotong tangan kanan anak perempuannya itu.
Zaman berganti. Ibarat roda pedati, nasib orang itu pasti berganti. Yang dulu kaya raya, sekarang miskin papa. Yang dulu miskin dan bangsak, kini kayanya bukan main.
Begitu juga yang terjadi dengan si perempuan kaya dan pengemis itu. Si perempuan beserta keluarga kini menjadi miskin. Bahkan sang ayah, yang dulu bakhil dengan kekayaannya mati dalam keadaan miskin.
Sang anak perempuan pun dengan sangat terpaksa akhirnya menjadi pengemis untuk sekedar bertahan hidup. Singkat cerita, tibalah si anak perempuan ini di sebuah rumah mewah milik orang kaya.
Begitu mengetuk pintu ia pun disambut hangat oleh tua rumah yang merupakan ibu dari pemilik rumah mewah tersebut. Dengan belas iba dan kasih si ibu berkata dalam hatinya, "Duh kasian banget nih bocah. Cantik-cantik tapi sayang jadi pengemis. Ada baiknya saya ambil menantu aja."
Akhirnya si pengemis cantik itu pun menikah dengan pemuda kaya raya itu. Karena pada waktu itu wanita dewasa semua memakai cadar maka pemuda itu tidak tahu bahwa wanita pengemis yang ia nikahi kini merupakan yang dulu anak orang kaya yang telah membantunya sampai si perempuan itu dipotong tangan oleh ayahnya sendiri yang ketika masih hidup terkenal sangat bakhil di tempat itu.
Ketika keluarga besar ini makan malam, saat seorang pembantu rumah mewah itu menawarkan makanan kepada si perempuan, ia tidak menerimanya dengan tangan kanan sebagaimana mestinya. Ia malah menerimanya dengan tangan kirinya.
Si ibu dalam hatinya bertanya-tanya, "Ini kok makan dan menerima makanannya pake tangan kiri bukan pake tangan kanan." Akhirnya sang ibu memberanikan diri untuk berkata kepada menantunya itu, "Ukrujii yadakil yumna!" (Keluarkanlah tangan kananmu!).
Si menantu perempuan pun kelimpungan. Dia sangat kebingungan dan tentu saja sangat malu kalau ketahuan bahwa tangan kanannya buntung. Dalam keadaan "terdesak" itulah kemudian malaikat...
Rabu, 04 November 2009
Margin Moril
Cibubur, Kamis, 051109
Margin Moril
Oleh: Mohamad Istihori
Betapa asyik mendengarkan hikmah Dhuha yang disampaikan oleh Bapak Heria Widya pagi ini di Madani Mental Health Care. Judul yang Pak Wid-demikian beliau biasa disapa-sampaikan kali ini adalah Margin Moril (MM).
Bagi Pak Wid MM adalah budi pekerti, akhlaq, atau prilaku. Termasuk di antara prilaku manusia adalah tutur kata atau bahasanya. Prilaku manusia lahir dari pola pikirnya atau dari segi kognitifnya.
Margin itu sendiri berarti adalah nilai. Margin terbagi menjadi dua. Pertama, profit margin (nilai positif). Dan, kedua, loss margin (nilai negatif).
Pertanyaan yang kemudian timbul pagi ini adalah bagaimana manusia bisa menghapus potensi nilai negatif yang ada di dalam dirinya? Karena setiap manusia memang memiliki potensi nilai negatif dalam dirinya.
Ada setidaknya empat poin yang Pak Wid tawarkan agar manusia bisa menghapus margin moril negative dalam dirinya. Pertama, zikir. Kedua, sholat. Ketiga, iman. Dan, keempat adalah puasa.
Dengan keempat poin di atas maka jika ada suatu kejadian yang tidak mengenakkan yang menimpa kita maka kita tidak akan mudahnya dengan serta-merta menyalahkan orang lain apalagi sampai menyalahkan Allah SWT. (Na'udzu billahi min dzaalik).
Berkenaan dengan hal ini Pak Wid membacakan surat at Tahrim (66) ayat 8. Yaa ayyuhal ladziina amanuu tuubuu ilallahi taubatan nasuuhaa. "Wahai orang-orang yang beriman bertaubatlah kamu sekalian dengan taubat yang sebenar-benarnya."
Kalau manusia tidak mau taubat nasuha maka prilakunya akan terus selalu melanggar perintah Allah dan output-nya adalah moril margin negative.
Maka dari itu kita jangan pernah berhenti berharap bahwa Allah pasti memberikan kita hidup yang lebih baik, diberi penghidupan, keahlian, dan skill yang semakin baik sampai meninggal dunia pun kita berusaha dalam keadaan baik (husnul khotimah).
Jangan sampai kita menjadi orang yang apriori. Apriori itu sendiri berasal dari dua kata. A (tidak). Priori (prioritas/arah/tujuan/maksud). Jadi apriori adalah orang yang linglung, berjalan nggak tahu ke mana arah, nggak punya sikap, dan nggak punya pedoman.
Margin Moril
Oleh: Mohamad Istihori
Betapa asyik mendengarkan hikmah Dhuha yang disampaikan oleh Bapak Heria Widya pagi ini di Madani Mental Health Care. Judul yang Pak Wid-demikian beliau biasa disapa-sampaikan kali ini adalah Margin Moril (MM).
Bagi Pak Wid MM adalah budi pekerti, akhlaq, atau prilaku. Termasuk di antara prilaku manusia adalah tutur kata atau bahasanya. Prilaku manusia lahir dari pola pikirnya atau dari segi kognitifnya.
Margin itu sendiri berarti adalah nilai. Margin terbagi menjadi dua. Pertama, profit margin (nilai positif). Dan, kedua, loss margin (nilai negatif).
Pertanyaan yang kemudian timbul pagi ini adalah bagaimana manusia bisa menghapus potensi nilai negatif yang ada di dalam dirinya? Karena setiap manusia memang memiliki potensi nilai negatif dalam dirinya.
Ada setidaknya empat poin yang Pak Wid tawarkan agar manusia bisa menghapus margin moril negative dalam dirinya. Pertama, zikir. Kedua, sholat. Ketiga, iman. Dan, keempat adalah puasa.
Dengan keempat poin di atas maka jika ada suatu kejadian yang tidak mengenakkan yang menimpa kita maka kita tidak akan mudahnya dengan serta-merta menyalahkan orang lain apalagi sampai menyalahkan Allah SWT. (Na'udzu billahi min dzaalik).
Berkenaan dengan hal ini Pak Wid membacakan surat at Tahrim (66) ayat 8. Yaa ayyuhal ladziina amanuu tuubuu ilallahi taubatan nasuuhaa. "Wahai orang-orang yang beriman bertaubatlah kamu sekalian dengan taubat yang sebenar-benarnya."
Kalau manusia tidak mau taubat nasuha maka prilakunya akan terus selalu melanggar perintah Allah dan output-nya adalah moril margin negative.
Maka dari itu kita jangan pernah berhenti berharap bahwa Allah pasti memberikan kita hidup yang lebih baik, diberi penghidupan, keahlian, dan skill yang semakin baik sampai meninggal dunia pun kita berusaha dalam keadaan baik (husnul khotimah).
Jangan sampai kita menjadi orang yang apriori. Apriori itu sendiri berasal dari dua kata. A (tidak). Priori (prioritas/arah/tujuan/maksud). Jadi apriori adalah orang yang linglung, berjalan nggak tahu ke mana arah, nggak punya sikap, dan nggak punya pedoman.
Langganan:
Postingan (Atom)