Senin, 10 September 2012

Alat Ukur Iman


Yayasan Al Hidayah, Ahad, 090912

Alat Ukur Iman

Oleh: Mohamad Istihori

Siapa bilang kalau kita sudah mengikrarkan bahwa kita ini adalah orang yang beriman kemudian hidup kita akan “mudah”? apakah kita mengira Allah berdiam diri saja gitu? Justru ketika seseorang menyatakan keimanan kepada-Nya, maka Allah niscaya akan mengujinya. Allah berfirman dalam surat Al Ankabut, ayat 2-3 yang artinya: “Apakah manusia mengira bahwa mereka ditinggalkan/dibiarkan begitu saja setelah mengucapkan: “Saya beriman.” Dan mereka tidak diuji?”

Iman itu tidak cukup hanya diucapkan dan diikrarkan dalam hati saja. Tapi iman itu butuh pembuktian. Sebagaimana seorang pria menyatakan cinta kepada wanita, itu juga tidak cukup hanya bilang, “I love you” tanpa ada usaha untuk membuktikan dengan sungguh-sungguh cintanya itu.

Jadi ada orang yang cuma ngaku beriman kepada Allah dan memang ada orang yang diakui oleh Allah bahwa ia adalah orang yang beriman. Dan, iman ini memang memiliki empat alat ukur:
1.       Semua hal yang diperintahkan Allah
2.       Segala yang dilarang Allah
3.       Semua yang mengenakkan, yang menyenangkan dan sesuai dengan harapan
4.       Segala yang meng-enegkan, yang menyedihkan dan di luar harapan.

Semua Hal yang Diperintahkan Allah
Allah berfirman, Athiiul laaha wa athiiur rosuula wa uulil amri minkum. Taatlah pada Allah, taatlah pada Rosul dan pada pemimpin. Melalui ayat ini, taat itu terbagi menjadi dua:
1.       Taat yang sifatnya mutlak yaitu taat kepada Allah dan taat kepada Rosul. Makanya redaksi ayatnya antara Allah dan Rosul sama-sama memakai athiiuu.
2.       Taat yang sifatnya kondisional atau tidak mutlak yaitu taat kepada pemimpin. Maka redaksi ayat di atas untuk taat kepada pemimpin mah nggak pake athiiuu.

Maka kalau ada orang yang mengaku beriman kepada Allah tapi dia malas mentaati perintah Allah, itu pertanda imannya belumlah sungguh-sungguh. Ada orang ngaku beriman tapi nggak sholat, bulan Romadhon nggak puasa, atau kaya nggak mau zakat serta berangkat haji berarti imannya masih ecek-ecek. Berarti ia belum lah mampu membuktikan keimanannya.

Segala yang Dilarang Allah
Manusia sekarang itu ingin hidup bebas. Bebas yang sebebas-bebasnya. Semakin manusia sekarang ini bisa hidup bebas semakin ia merasa telah menjalani pola hidup yang modern. Bahkan ia bercerita dengan bangga kepada kawan-kawannya yang ia anggap “miskin kebebasan” tentang kebebasan hidup apa saja yang telah ia dapatkan di luar sana.

Padahal yang harus dilakukan manusia dalam hidup justru adalah memperdalam ilmu batas. Dan, ilmu batas inilah segala hal yang dilarang oleh Allah. Larangan yang Allah berikan bukanlah untuk Allah. Larangan Allah adalah ilmu rahasia yang harus dipahami manusia agar manusia tidak terjerumus ke dalamnya sehingga selamatlah hidup manusia dari kehancuran dan kemusnahan.

Kalau ada orang ngaku beriman, apapun agamanya, tapi ia masih suka melanggar Pihak yang ia imani (suka mabuk, main cewek, judi, berbohong atau korupsi maka imannya itu masihlah iman yang main-main. Bukan iman yang sungguh-sungguh.

Semua Yang Mengenakkan, Yang Menyenangkan dan Sesuai dengan Harapan
Kita kira kalau kita kaya itu bukan ujian maka kita berbangga sehingga terlena dan lupa. Kita sangka kalau punya istri cantik itu bukan ujian sehingga hati merasa senang tanpa ada rasa syukur dalam diri kita. Padahal segala yang mengenakkan, yang menyenangkan dan apa saja perkara yang sesuai dengan apa yang kita harapkan itu semua juga adalah alat ukur yang Allah jadikan untuk mengukur keimanan kita.

Nggak salah kok kita punya keinginan untuk jadi orang kaya. Nggak dosa juga kalau kita berharap pada suatu hari nanti memiliki istri cantik atau suami tampan. Tapi yang kerap di luar kesadaran kita adalah bahwa kekayaan dan kecantikan/ketampanan adalah alat ukur ujian keimanan.

Tapi anehnya banyak sekali manusia yang berharap agar diuji oleh Allah dengan materi kekayaan, kecantikan, ketampanan, dan apa saja yang ia harapkan. Padahal di saat yang sama ia saksikan justru banyak yang justru tergadaikan imannya ketika manusia di uji oleh Allah dengan segala apa saja yang mengenakkan.

Segala yang Meng-enegkan, yang Menyedihkan dan di Luar Harapan
Ada sebagian manusia yang katanya beriman tapi ketika mendapatkan kesusahan dari Allah, entah itu berwujud sakit, kemiskinan, cerai, ditinggal orang yang ia cintai, kehilangan barang berharga dan apa saja yang di luar harapannya segera saja ia berburuk sangka pada Allah.

Ia pikir kalau sedang menderita sakit itu adalah pertanda bahwa Allah sudah tidak sayang lagi. Ia anggap kalau sepanjang hidupnya berkutat dengan kemiskinan, kegalauan, kegelisahan, penderitaan dan kesusahan itu pertanda bahwa ibadah yang ia lakukan adalah sia-sia belaka.

Pendekatan Psikoreligi pada Homoseksual


Pendekatan Psikoreligi pada Homoseksual

Judul : Pendekatan Psikoreligi pada Homoseksual
Pengarang : Prof. Dr. dr. H. Dadang Hawari, Psikiater
Penerbit : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Tahun Terbit : 2009
Tempat Terbit : Jakarta
ISBN : 978-979-496-642-6

Homoseksual merupakan masalah psikososial di negara-negara maju dan sekuler. Banyak di antara mereka yang menganggap penyimpangan seksual ini bukan merupakan suatu kelainan. Mereka membuat gerakan-gerakan sosial maupun politik untuk mendapatkan pengakuan dengan alasan HAM.

Buku ini mengupas homoseksualitas dengan pendekatan psikoreligi. Dari segi psikoreligi jelas bahwa homoseksualitas menyalahi fitrah dan kodrat manusia, serta tidak ada pembenaran dalam agama. Mereka yang mempraktekkan homoseksual mendapat peringatan dari Allah SWT.

Kalau dahulu mereka itu mendapat peringatan dalam bentuk bencana alam sebagaimana peristiwa Laut Mati (Sodom dan Gomorah) serta meletusnya Gunung Vesuvius di Kota Pompei, kini peringatan itu dalam bentuk penyakit HIV/AIDS yang sudah merupakan “global effect”. Hingga saat ini belum ada ditemukan pengobatannya dan cara paling efektif menghindari penularannya adalah dengan cara tidak melakukan perzinahan.

Jalan keluar yang ditawarkan dalam buku ini adalah terapi psikiatrik dan agama. Bahwa dengan kembali ke jalan yang benar, berobat dan bertobat kesempatan bagi mereka yang bermasalah dapat diatasi.

Prof. Dr. dr. H. Dadang Hawari, Psikiater adalah nama yang tidak asing lagi di kalangan pemerintah, ilmuwan, agamawan maupun masyarakat awam. Seorang Guru Besar tetap pada Fakultas Pascasarjana UI yang mempelopori integrasi antara ilmu kedokteran, khususnya ilmu kedokteran jiwa/kesehatan jiwa dan agama; selain daripada itu beliau dikenal pula sebagai seorang da’i.

Doa dan Zikir Pelengkap Terapi Medik Integrasi Agama dalam Pelayanan Medik


Doa dan Zikir Pelengkap Terapi Medik Integrasi Agama dalam Pelayanan Medik

Judul : Doa dan Zikir Pelengkap Terapi Medik Integrasi Agama dalam Pelayanan Medik Edisi II
Pengarang : Prof. Dr. dr. H. Dadang Hawari, Psikiater
Penerbit : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Tahun Terbit : 2011
Tempat Terbit : Jakarta
ISBN : 978-979-496-748-5

WHO (1984) telah meredifinisi batasan sehat dengan memasukkan dimensi spiritual/agama di samping sehat dalam arti fisik (biologik), psikologik dan sosial. Sejalan dengan hal tersebut paradigm baru kedokteran/kedokteran jiwa Amerika mengabut pendekatan holistik yaitu bio-psiko-sosial-spiritual (APA, 1992). Demikian pula dengan organisasi kedokteran jiwa sedunia (WPA, 1994).

Dalam buku ini diuraikan perkembangan kedokteran dan agama dalam upaya mensejahterakan umat tidak lagi bersifat pemisahan (dikotomis) melainkan terintegrasi. Bahkan dalam mencapai derajat kesehatan yang mengandung arti sejahtera (wellbeing) pada diri manusia, terdapat titik temu (convergence) antara kedokteran/kedokteran jiwa di satu pihak dan agama di pihak lain.

Sesuai dengan hasil penelitian Snyderman (1996) yang menyatakan “terapi medik saja tanpa doa dan zikir, tidak lengkap; sebaliknya doa dan zikir saja tanpa terapi medik, tidak efektif”; maka dalam buku ini diberikan tuntunan doa dan zikir sebagai pelengkap terapi medik. Hal ini sesuai dengan penelitian dari Christy (1996) yang menyatakan bahwa doa dan zikir juga sebagai “obat” (prayer as medicine).

Prof. Dr. dr. H. Dadang Hawari, Psikiater adalah nama yang tidak asing lagi di kalangan pemerintah, ilmuwan, agamawan maupun masyarakat awam. Seorang Guru Besar tetap pada Fakultas Pascasarjana UI yang mempelopori integrasi antara ilmu kedokteran, khususnya ilmu kedokteran jiwa/kesehatan jiwa dan agama; selain daripada itu beliau dikenal pula sebagai seorang da’i.

Psikopatologi Bunuh Diri


Psikopatologi Bunuh Diri

Judul : Psikopatologi Bunuh Diri
Pengarang : Prof. Dr. dr. H. Dadang Hawari, Psikiater
Penerbit : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Tahun Terbit : 2010
Tempat Terbit : Jakarta
ISBN : 978-979-496-691-4

Masalah bunuh diri akhir-akhir ini mencuat ke permukaan karena melibatkan orang-orang yang berusia muda. Biasanya mereka yang melakukan bunuh diri menderita depresi karena persoalan kehidupan yang mengakibatkan putus asa.

Persoalan ini sudah merupakan masalah kesehatan yang melanda dunia. Disebutkan bahwa sekitar 121 juta jiwa di seluruh dunia menderita depresi (WHO, 2007). Mereka umumnya berusia di bawah 45 tahun.

Tingkat bunuh diri di Indonesia dinilai masih cukup tinggi. Berdasarkan data WHO pada tahun 2005 sedikitnya 50.000 orang Indonesia melakukan tindak bunuh diri tahunnya. Dengan demikian, diperkirakan1.500 orang Indonesia melakukan bunuh diri per harinya.

Ada pula bunuh diri dengan latar belakang penyakit terminal, misalnya pada kanker dan AIDS. Juga ada bunuh dirikarena tidak tahan penyiksaan dan menjaga rahasia misalnya pada agen rahasia. Pada mereka yang melakukan “bom bunuh diri” dilatarbelakangi dengan keyakinan agama dan perjuangan untuk mengusir penjajah. Sedangkan pada bunuh diri massal, terjadi pada sekte pseudo-agama : James Jones (The People’s Temple), David Koresh dan Marshal Applewhite (The Heaven’s Gate).

Prof. Dr. dr. H. Dadang Hawari, Psikiater adalah nama yang tidak asing lagi di kalangan pemerintah, ilmuwan, agamawan maupun masyarakat awam. Seorang Guru Besar tetap pada Fakultas Pascasarjana UI yang mempelopori integrasi antara ilmu kedokteran, khususnya ilmu kedokteran jiwa/kesehatan jiwa dan agama; selain daripada itu beliau dikenal pula sebagai seorang da’i.

Penyakit Jantung Koroner Dimensi Psikoreligi


Penyakit Jantung Koroner Dimensi Psikoreligi

Judul : Penyakit Jantung Koroner Dimensi Psikoreligi
Pengarang : Prof. Dr. dr. H. Dadang Hawari, Psikiater
Penerbit : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Tahun Terbit : 2004
Tempat Terbit : Jakarta
ISBN : 979-496-328-3

Survey yang dilakukan pada tahun 1972 di Indonesia, penyakit jantung koroner menempati peringkat ke-11 penyebab kematian. Pada tahun 1980 kematian akibat jantung koroner menempati peringkat ke-4; dan sejak 1995 penyakit jantung koroner menempati peringkat ke-1 penyebab kematian.

Salah satu sebab utama penyakit jantung koroner adalah gaya hidup manusia modern (modern life style) yang antara lain pola makan berlebihan dan banyak mengandung kolesterol, kurang gerak, merokok, minuman keras dan kehidupan yang penuh dengan stres (stressful life experince), misalnya kecemasan dan atau depresi.

Sesungguhnya penyakit jantung koroner dapat dicegah, dapat diobati dan dapat dikontrol. Kesadaran orang terhadap penyakit jantung koroner perlu ditingkatkan, dan penyuluhan yang diberikan jangan sampai menimbulkan rasa ketakutan yang berlebihan serta tidak rasional (cardiac phobia). Sesungguhnya jantung anda di tangan anda sendiri.

Selain hal ihwal jantung koroner itu sendiri dalam buku ini diuraikan dimensi stressor psikososial, dimensi psikologik misalnya stres, kecemasan dan atau depresi, dan dimensi psikoreligi. Dalam menangani penyakit jantung koroner hendaknya dilakukan pendekatan holistik yang meliputi fisik, psikologik, sosial dan spiritual (WHO, 1984). Dalam buku ini pula terkandung resep doa dan zikir sebagai pelengkap terapi medis.

Prof. Dr. dr. H. Dadang Hawari, Psikiater adalah nama yang tidak asing lagi di kalangan pemerintah, ilmuwan, agamawan maupun masyarakat awam. Seorang Guru Besar tetap pada FKUI yang mempelopori integrasi antara ilmu kedokteran, khususnya ilmu kedokteran jiwa/kesehatan jiwa dan agama, selain daripada itu beliau dikenal pula sebagai seorang da’i dan narasumber di berbagai media cetak dan elektronik.