Sabtu, 10 Oktober 2009

Selamat (dari) Gempa!

Cibubur, Jum'at, 02.10.2009

Selamat (dari) Gempa!

Oleh: Mohamad Istihori

Sore ini Kiai Jihad membuka pengajian kehidupannya dengan mencoba menggali hikmah dari gempa yang terjadi di Pulau Sumatera kemarin.

"Kalau seandainya kita adalah salah satu korban yang selamat dari gempa, maka apa yang akan kita lakukan setelah peristiwa itu?

Apakah kita kemudian berusaha menjadi seorang muslim yang lebih taat beragama sebagai rasa syukur kita kepada Allah karena Ia telah menyelamatkan kita dari bencana?

Atau kita biasa-biasa saja karena kita merasa kita selamat dari gempa itu tidak ada urusannya dengan Tuhan kecuali atas usaha kita yang memang sudah sangat lihai berkelit dan untuk selamat dari bencana?"

Kiai Jihad bicara panjang lebar tentang gempa tanpa memperhatikan para santri yang asyik molor. Melihat para santrinya molor ia pun naik pitam, "Hey kalian diajak ngaji kerjaannya malah pada molor aja! Nanti kalau dikasih gempa baru deh pada bangun, pada inget Tuhan, dan pada menolong antar sesama.

Tapi setelah beberapa tahun bencana kita lupa untuk kemudian pada molor lagi. Pada kagak mau ngaji, ogah merenung, dan enggan bertafakur alam."

"Lalu Pak Kiai mengapa Jakarta, misalnya, yang selama ini kita kenal sebagai kota yang molor dan lalai nggak kena gempa?" tanya seorang santri.

"Oh jangan kamu pikir mereka yang nggak kena gempa disayang Tuhan terus yang kena gempa dibenci-Nya. Kita harus memiliki "kaca mata" akal dan hati multidimensi untuk memahami gempa atau bencana." ujar Kiai Jihad.

"Maksud Kiai?"

"Bisa saja orang yang kena musibah, gempa, kemiskinan, susah cari kerja, sulit cari jodoh, dan ditinggal akibat kematian justru mereka adalah orang yang sangat dicintai dan disayangi oleh Allah.

Mereka diuji agar kalau mereka mau bersabar dan lulus maka derajat mereka akan lebih tinggi dari sebelumnya dan mereka bisa lebih dekat dengan Allah.

Dan, di saat lain ada Jakarta berserta beberapa kota besar lainnya yang kata banyak orang banyak kelalaiannya untuk mengingat Tuhan sampai hari ini cenderung aman dari bencana alam.

Bisa saja kita sedang di-istidraj (diantepin, dibiarin oleh Tuhan dalam kemaksiatan dan diberikan sedikit kenikmatan dunia itu pun kenikmatan yang semu bukan kenikmatan abadi).

Nah sekarang kan gampang kita pilih mana, kita diingetin saat salah atau kita didiemin saat salah?" tanya Kiai Jihad.

Setelah terdiam beberapa saat, seorang santri berkata, "Iya di mana-mana kita maunya diingetin saat salah."

"Iya itukan maunya kita. Tapi apakah nanti ketika kita benar-benar mengalami peringatan itu kita siap? Ketika nanti peringatan itu sudah ada, sudah di depan mata kita, dan sudah kita rasakan sendiri apakah kita akan bersyukur, mengeluh, atau protes sama Tuhan? Dengan berkata misalnya,

'Tuhan kok tega banget sama saya. Saya udah rajin ibadah, sholat lima waktu nggak pernah kelewat selalu berjama'ah, puasa full, zakat lunas, haji udah, infaq, dan shodaqoh nggak pernah putus eh malah dikasih gempa, tsunami, banjir, dan tanah longsor.

Tapi kok mereka yang kerjaannya maksiat, dugem tiap malem, pake narkoba, melacur, dan berjudi malah semakin menanjak karirnya, semakin makmur dunianya, dan semakin luas jaringan usahanya? Heran saya?"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar