Sabtu, 04 April 2009

Setia Pada Keyakinan, Setia Pada Kehidupan

Ahad, 050409

Setia Pada Keyakinan, Setia Pada Kehidupan

Oleh: Mohamad Istihori

Segala puja dan puji bagi Allah yang sampai hari ini masih memberikan nikmat panjang umur kepada kita. Maka tak ada kata yang paling pantas untuk kita ucapkan selain, "al hamdulillahi robbil 'alamiin."

Maka kalau masih ada dosa yang belum kita taubati maka detik ini marilah kita mohon ampun kepada-Nya atas segala dosa dan kekhilafan yang pernah kita lakukan, "astaghfirullahal 'adziim."

Kalau sampai hari ini masih ada harapan dan cita-cita mulia yang belum juga kita raih maka dalam kehidupan dunia yang sangat singkat ini marilah kita tingkatkan usaha dan doa kita agar apa-apa yang menjadi harapan mulia kita bisa sesuai dengan kehendak Allah, "innamaa amruhu idza arooda syaian ayyaqulalahu kun fayakuun." Sesungguhnya perintah Allah itu kalau memang Ia berkehendak Dia tinggal berkata, 'jadi!', maka jadilah."

Kehidupan kita di dunia ini sangatlah singkat. Semua berjalan "tahu-tahu". Yang kemarin masih anak-anak tahu-tahu sekarang udah punya anak. Yang dulu hidupnya sengsara nggak karu-karuan eh sekarang tahu-tahu hartanya bertumpuk nggak karuan.

Yang kemarin jadi idola, disanjung-sanjung, dipuja-puja, dibangga-banggakan di setiap pertemuan hari ini tahu-tahu dihina orang, disingkirkan, dimarjinalkan, diacuhkan. Yang kemarin rajin sholat, setelah terkena dampak jebolnya bendungan Situ Gintung Ciputat, tahu-tahu sudah disholatin.

Maka tak ada alasan bagi kita untuk tidak menyegerakan diri kita untuk berbuat baik. Kita tidak boleh menunda-nunda dan berpikir terlalu panjang kalau kita mau berbuat baik.

Namun demikian bukan berarti kita melakukan sesuatu tanpa berpikir terlebih dahulu. Kita tetap memerlukan ruang dan waktu untuk merenung dan berpikir sebelum melakukan sesuatu.

Hanya saja yang selama ini menjadikan faktor penyebab kita selalu dirundung kebingungan dan keraguan sebelum dan setelah kita mengambil keputusan itu karena kita tidak memiliki ukuran yang jelas untuk melakukan hal itu.

Sehingga jangan heran kalau keputusan kita malah menjadi bumerang yang membuat kita tidak bahagia, karena keputusan kita lahir dari proses berpikir dan merenung yang prematur serta kurang matang bahkan masih mentah.

Lalu apa sajakah yang bisa menjadi bahan pertimbangan atau ukuran kita sebelum mengambil sebuah keputusan?

Pertama, ketika kita hendak mengambil sebuah keputusan maka Allah harus menjadi unsur yang paling dominan dalam segala keputusan hidup yang akan kita ambil.

Artinya kalau Allah sudah menjadi faktor utama dalam pengambilan keputusan kita maka resiko apapun akan siap kita hadapi karena kita yakin Allah akan senantiasa menemani kita.

Kedua, akhirat dulu baru dunia. Utamakan kebutuhan kelak kita di akhirat yang abadi daripada harus bela-belain kebutuhan dunia yang sangat singkat dan sementara untuk mengambil keputusan.

Ketiga, utamakan unsur rohani daripada jasmani. Apapun keputusan yang akan kita ambil pahamilah kerohaniannya dulu daripada kita sibuk meneliti unsur-unsur jasmaninya.

Keempat, sebelum memutuskan sesuatu pikirkanlah dulu kepentingan dan perasaan orang lain daripada kepentingan dan keegoisan kita sendiri.

Kalau empat hal ini yang menjadi unsur utama pengambilan keputusan kita maka masalah apapun yang akan kita hadapi setelah kita memutuskan sesuatu kita tidak akan pernah mengeluh.

Mengeluh pun saja tidak pernah apalah lagi menyesal dengan keputusan yang sudah kita ambil. Sebesar apapun gelombang kalau empat hal di atas landasannya kita akan tetap tegar berdiri.

Hinaan, pengkhianatan, pendustaan, fitnahan, akan menjadi surga dunia tersendiri bagi orang yang yakin bahwa apapun yang dia lakukan itu bukan menuruti kehendaknya pribadi namun demi kemaslahatan sosial.

Orang-orang yang menghina, mendustai, mengkhianati, membuat kita jengkel, dan BT mereka melakukan itu karena mereka belum tahu bahwa sebenarnya yang sedang kita rintis perlahan-lahan ini juga untuk kebaikan dan kemaslahatan bersama termasuk dirinya.

Maka syukurilah hidup ini dan setialah kepada keyakinanmu sendiri. Orang mau bilang apa tentang kita jangan terlau peduli dan terlalu diambil pusing. Meski kita juga tetap menampakkan hasrat untuk mendengar segala masukan, kritik, dan saran mereka. Karena mungkin saja dari sanalah hidayah Allah itu datang untuk kita.

Orang yang mau setia kepada kehidupan maka ia harus terlebih dahulu setia pada keyakinan. Bagaimana mau setia kepada kehidupan, lah wong pada keyakinannya sendiri saja dia tidak bisa setia?

Apa maksud setia kepada kehidupan? Maksud dari setia kepada kehidupan itu gini loh, kita kan kadang kalau sedang mendapat masalah yang sangat besar dan berat banget itu rasanya pengen banget bunuh diri.

Nah itu berarti bibit-bibit kita akan berkhianat pada kehidupan. Orang yang bunuh diri itu apapun alasannya adalah tipe orang yang tidak setia pada kehidupan makanya mereka bunuh diri.

Orang yang merasa kecewa dengan kehidupan, sakit hati, balas dendam, dan membenci adalah tunas-tunas pengkhianatan kita atas kehidupan yang puncak segala depresi dan stres manusia itu adalah bunuh diri atau jadi orang gila.

Kalau dia setia pada keyakinannya sendiri maka dia akan bisa mensyukuri hidup apapun masalah yang ia hadapai. Masalah ia syukuri karena dalam pandangannya masalah adalah anugerah berupa tantangan untuk meningkatkan lagi kualitas keyakinan yang selama ini ia perjuangkan.

So, selamat berjuang untuk setia pada keyakinan kita masing-masing agar penyakit mental tidak menggerogoti hidup kita.

Dua Dunia

Sabtu, 040409

Dua Dunia

Oleh: Mohamad Istihori

Semplur punya dua sahabat wanita yang berasal dari "dua dunia" yang berbeda.

Sahabat pertama adalah seorang gadis metropolitan, gaul, dan suka berpakaian seksi. Namun ada satu hal yang sangat tidak ia duga yang ia juga baru mengetahui hal tersebut akhir-akhir ini.

Hal yang dimaksud itu adalah bahwa sahabat semplur ini selalu menjaga wudhunya. Kalau dia salaman dengan lawan jenis yang bukan muhrim, ia pura-pura ke WC untuk wudhu.

"Mengapa kamu tidak pakai jilbab aja sekalian?" tanya Semplur.

"Sebenarnya saya pengen banget pake jilbab. Tapi saya merasa belum siap. Saya lebih nyaman 'menyamar' saja seperti ini." ujar wanita itu.

Sahabat wanita kedua yang Semplur kenal adalah wanita 'jilbabers'. Suka ikut pengajian. Aktif hadir di setiap majelis taklim di kampungnya.

Setiap orang yang baru mengenalnya pasti menganggap dia adalah wanita solehah dan baik hatinya.

Ternyata apa hendak dikata. Pakaian panjang itu hanya topeng yang menutupi kebusukannya selama ini. Tidak ada seorang pun yang tahu siapa dia sebenarnya. Kecuali Semplur.

Semplur pun mengetahui dia siapa yang sebenarnya secara tidak sengaja.

"Ah dasar wanita. Sampai hari ini saya belum bisa benar-benar mengerti mengapa dia melakukan hal itu? Bukankah dia tahu itu perbuatan dosa? Mengapa dia tetap melakukannya?

Mengapa juga dia memakai simbol agama (jilbab panjang) untuk menutupi jati dirinya?" suara hati Semplur keheranan.

Setelah belajar dari dua wanita yang berasal dari dua dunia itulah kemudian Semplur mulai memahami bahwa pakaian seseorang, zaman sekarang, tidak bisa dijadikan sebagai ukuran tingkat keimanan dan pemahaman seseorang terhadap agama yang diyakininya.

Bisa saja cewek "baragajul" cuma fisik dan pakaiannya saja yang seksi namun sebenarnya ia merindukan keislaman hadir seutuhnya dalam kehidupannya.

Namun karena lingkungannya tidak kondusif untuk menerima cahaya kebenaran maka sampai hari ini keinginan itu hanya menjadi sesuatu yang jauh dari jangkauan.

Ada lagi orang yang selama ini kita anggap alim, rajin ngaji, dan sholat ternyata semua itu hanya lipstik belaka. Tidak tergerak hatinya untuk terus-menerus menggali hikmah dari setiap ibadah yang ia lakukan.

Sehingga sholatnya hanya ritual belaka. Tanpa penghayatan mendalam dan tidak mampu menjaganya dari perbuatan-perbuatan maksiat.

Jumat, 03 April 2009

Yang Utama Agama

Jumat, 030409

Yang Utama Agama

Oleh: Mohamad Istihori

Rosul bersabda: nikahilah wanita karena empat hal: kecantikan, kekayaan, keturunan, dan agamanya. Maka utamakanlah agamanya.

Siapa sih bo' orang yang tidak mau mendapat jodoh, sebagaimana yang disabdakan Rosul di atas: udah orangnya cantik/ganteng, kaya raya, keturunan orang terhormat atau bisa menghasilkan keturunan, dan soleh(ah) lagi.

Tapi manusia "perfect" kayak gitu 1001 zaman sekarang. Maka dari itulah kemudian Rosul memang sudah memprediksikan jauh-jauh hari, manusia seperti itu akan sangat sulit didapat.

Makanya di penghujung sabda, Rosul menegaskan agar menjadikan kualitas pemahaman beragama seseorang menjadi syarat mutlak.

Mengapa kecantikan/kegantengan tidak bisa dijadikan syarat mutlak?

Karena kecantikan/kegantengan akan luntur dimakan usia. Orang secantik/seganteng apapun kalau sudah berumur akan menjadi lebih mirip dengan orang-orangan sawah.

Cinta dan rumah tangga yang mensyaratmutlakkan keunggulan fisik akan segera luntur seiring munculnya keriputan-keriputan pada fisik yang dulu dipuji-puji bahkan sampai dipuja-puja.

Bagaimana kalau kita mensyaratmutlakkan kekayaan sebagai langkah awal berumah tangga? Iya bagi penganut paham neoliberalis, konsumeris, dan kapitalis itu sah-sah saja.

Tidak ada kesalahan dan cela sedikit pun bagi orang yang memiliki pemikiran dan keyakinan seperti itu.

Rumah tangga mereka akan baik-baik saja selama semua kebutuhan materi dan ekonomi mereka selalu terpenuhi serta tercukupi. Pokoknya apa saja kenikmatan dunia yang mereka inginkan bisa mereka dapatkan secepat yang mereka butuhkan berapa pun harganya.

Tapi mereka akan kecele. Hidup ini berputar seperti roda pedati. Bisa saja orang yang sangat kaya hari ini menjadi orang yang sangat miskin esok hari. Dan, sebaliknya bisa saja orang yang sangat miskin hari ini menjadi orang terkaya di dunia esok hari.

Maka rumah tangga mereka pasti akan mengalami keguncangan, pertengkaran, pertikaian, air mata, bahkan sampai darah kalau memang tidak sampai berpisah (cerai) seiring dengan merosotnya penghasilan (gaji) suami atau istri (kalau sang istri adalah wanita karir).

Diajak berjuang mempertahankan cinta aja nggak mau, bagaimana mau mempertahankan keutuhan dan keharmonisan rumah tangga? Fondasi utama rumah tangga adalah cinta dan agama. Agama dan cinta itu adalah unsur yang senyawa.

Rumah tangga yang diawali dengan mensyaratmutlakkan kekayaan adalah rumah tangga yang terang-terangan menolak hidup sederhana apalagi hidup di bawah garis kemiskinan. Maka mereka tidak memiliki kesiapan mental sama sekali untuk hidup susah.

Maka ketika rumah tangga mereka mengalami krisis finansial maka mereka akan mengalami keguncangan mental atas ketidaksiapannya menghadapi sesuatu yang di luar harapan.

Mengapa kita juga tidak boleh menikahi seseorang hanya karena dia keturunan orang terhormat, anak pejabat, atau generasi dari seorang tokoh masyarakat dan umat yang sangat berkharisma dan dihormati semua orang?

Janganlah menikahi seseorang hanya karena dia anak orang terhormat ("darah biru"). Karena "sebiru-birunya" darah seseorang dia itu sama dihadapan Allah. Jadi dihadapan Allah itu nggak ada bedanya anak seorang kiai dengan anak seorang supir. Yang membedakan seseorang dengan yang lain adalah kualitas takwa.

Kalau kita menikahi seseorang karena garis keturunannya yang bagus maka ketika kita sudah menikah dengannya kita akan selalu menganggap bahwa apa saja yang dia lakukan itu adalah benar, tanpa memiliki keberanian untuk mempertanyakan apalagi mengkritisi perbuatannya yang salah.

Ini karena pada awal menikah kita memiliki anggapan bahwa suami/istri kita memiliki kebenaran mutlak yang tidak bisa ditawar-tawar dan didiskusikan karena dia anak orang hebat dan terhormat.

Kalau kita mau mengikuti saran, anjuran, sumbangan pemikiran, atau sunah Rosul maka yang harus menjadi syarat mutlak kekasih hidup kita adalah kualitas pemahaman dia atas agama.

Mengapa? Karena agama itu memelihara hati.
Kalau miskin dia tetap memiliki kebahagiaan yang tidak pernah bisa dicapai dan dimiliki orang yang hartanya bertumpuk-tumpuk.

Kalau wajahnya pas-pasan dia akan tetap tampak bersinar. Karena perbuatannya tulus dan ikhlas sehingga tidak pernah merasa kecewa apalagi sampai sakit hati atas masalah hidup yang ia hadapi.

Dengan kualitas pemahaman agama orang yang berasal dari keturunan orang biasa-biasa saja akan lebih mulia dan dikenang sepanjang masa daripada anak pejabat yang kerjaannya korupsi, main judi, dan menjadi pelanggan prostitusi.

Hanya agamalah jaminan masa depan dan keutuhan rumah tangga. Tapi kita jangan heran kalau agama disepelekan, diremehkan, dan tidak menjadi perhitungan utama bagi orang modern dalam mencari jodoh.

Karena mereka pikir agama itu hal nomor dua setelah kecantikan/kegantengan, kekayaan, dan garis keturunan yang bagus. Agama itu urusan nanti yang bisa didiskusikan bersama-sama setelah berkeluarga.

Udah yang penting jodoh kita kalau nggak cantik/ganteng, kaya, iya minimal anak orang terhormat lah.

Agama?

"Agama untuk sementara dicuekin aja dulu. Jangan pernah bawa-bawa agama dan cinta dalam mencari jodoh. Karena itu hanya akan membuat hidup kamu di dunia jadi sengsara." ujar seseorang dengan penuh keyakinan.

Ada Orang Menulis...

Jumat, 030409

Ada Orang Menulis...

Oleh: Mohamad Istihori

Ada macam-macam orang menulis, pertama, ada orang menulis, yang menjadikan tulisannya sebagai topeng belaka.

Artinya, dia menulis buku, mengarang puisi, atau ngisi blog pribadi tentang kebenaran, cinta, kesetiaan, universalitas, nilai-nilai moral, dan agama agar orang lain menilai, menyangka, dan menduga bahwa dia orang pintar serta soleh.

Padahal kelakuan, kepribadian, dan karakternya sangat jauh dari segala apa yang selama ini ia tuliskan.

Kedua, ada orang menulis hanya sekedar menulis tok. "That's all". Nggak lebih, nggak kurang.

Hal itu ia lakukan karena untuk sekedar iseng-iseng atau karena sudah tugasnya menulis. Maka menulisnya tanpa memiliki nilai penghayatan dan pengalaman langsung dengan yang ia tuliskan.

Ketiga, ada orang menulis karena ia ingin sekali menggali segala hikmah dari peristiwa apa saja yang ia alami, dengar, lihat, rasakan, dan bayangkan untuk kemudian dia cari formula/rumusan terapannya agar segala yang telah ia tuliskan benar-benar bisa ia komunikasikan dan aplikasikan dalam kehidupan pribadinya.

Kalau di kemudian hari tidak ada seorang pun yang mengikuti buah karya pemikirannya, maka yang ia yakini dengan tulisannya itu hanya satu:

Bahwa warisan intelektualnya yang berupa tulisan itu pasti akan bermanfaat untuk diri, keluarga, anak-anak dan cucu-cucunya kelak, sahabat-sahabat hidupnya yang setia, dan siapa saja yang mau bergabung dalam lingkaran cinta dan keikhlasannya untuk terus menulis.

Dikejar-kejar Duit dan Pemikiran Aneh

Jumat, 030409

Dikejar-kejar Duit dan Pemikiran Aneh

Oleh: Mohamad Istihori

"Saya tidak ingin menjadi orang kaya!" ujar Cungkring.

"Loh mengapa? Di saat semua orang rela dan berlomba-lomba melakukan serta memberikan apa saja yang ia punya untuk meraih kekayaan, kamu malah tidak ingin menjadi orang kaya, aneh banget sih kamu?" tanya saya keheranan.

"Saya sangat belajar untuk tidak memiliki keinginan dalam kehidupan dunia. Saya tidak ingin hidup berdasarkan keinginan saya sendiri. Saya hanya ingin hidup berdasarkan keinginan Allah atas hidup saya.

Jadi kalau suatu hari Allah ingin saya kaya, entah bagaimana caranya, maka saya akan langsung berkata kepada Allah,

'Ya Allah sebenarnya saya ini hidup tidak punya keinginan apa-apa. Tapi Engkau malah menginginkan aku jadi orang kaya. Maka kalau Engkau 'memaksa' iya udah aku terima aja deh Ya Allah.'

"Kalau gitu kamu nggak perlu kerja dong?" tanya saya lagi.

"Loh urusan kerja bukan agar kita menjadi orang kaya. Saya ini bukan tipe manusia yang bekerja untuk menjadi orang kaya.

Saya kerja itu untuk ibadah. Saya bekerja karena untuk menjalankan metabolisme kehidupan saya sebagai manusia yang memang harus kerja (beramal).

Kaya atau miskin karena kerja itu urusan Allah. Lagian saya bukan orang yang ngejar-ngejar duit. Saya ini justru orang yang dikejar-kejar oleh duit.

Maka kalau saya dapat duit, maka benar-benar duit itu akan saya jajarkan di atas ranjang saya kemudian saya berkata kepada duit,

'Heh duit kamu harus tahu iya, bahwa saya ini nggak ngejar-ngejar kamu! Tapi justru kamulah yang terus ngejar-ngejar saya selama ini. Maka sekarang kamu harus patuh dan tunduk kepada saya. Karena saya tidak akan tunduk apalagi menjadi hambamu wahai duit.'

Sama halnya kalau Allah menginginkan saya miskin. Maka saya akan menerima keinginan Allah tersebut tanpa menganggap bahwa kemiskinan adalah hukuman kehidupan.

Begitu juga kalau Allah menginginkan saya hidup sederhana maka saya akan menerima ketentuan tersebut dengan berlapang dada."

"Kok kayak gitu sih prinsip hidup kamu? Nggak rasional banget kali?" ujar saya.

"Terhadap keinginan Allah kita tidak memerlukan rasio (akal). Kita cukup 'sami'naa wa atho'naa', Kami dengar, kami taat. Itu kalau kita mengaku sebagai hamba Allah. Namanya juga hamba Allah. Kalau ngaku hamba Allah iya harus mengikuti keinginan Allah dong.

Tapi Allah sangat mempersilahkan kepada seluruh makhluk-Nya untuk mencari tuhan selain Dia. Kalau kita mau menuhankan diri kita sendiri maka turutilah segala keinginan kita sendiri.

Kalau kita mau menghamba kepada bos atau majikan kita maka nggak salah kok kita menuruti segala keinginan bos atau majikan kita.

Kalau kita mau menghamba kepada orang tua atau suami/istri, maka turutilah semua keinginan mereka tanpa harus bersusah-susah belajar terlebih dahulu membaca dan memahaminya."

Saya merasa gaya berpikir Cungkring ini sangat aneh dan tidak 'up to date' untuk diterapkan di tengah-tengah masyarakat masa kini. Untungnya Cungkring kembali memberikan argumentasi yang menguatkan alasan-alasannya di atas.

"Aneh sih memang gaya berpikir kayak gini. Apalagi kalau kita memakai kaca mata pandang atau 'frame' masyarakat modern. Tapi saya nggak minder kok. Saya justru merasa bangga dengan kayak pikir seperti itu.

Bukankah Rosul pernah bersabda bahwa Islam itu memang datang dengan gaya berpikir yang aneh dan dianggap nyeleneh oleh masyarakat ketika itu. Dan, kelak pada akhir zaman Islam akan kembali dianggap aneh." jelas Cungkring yang mengakhiri anggapan aneh saya terhadapnya selama ini.

Kamis, 02 April 2009

Mengasah Hati, Mempertajam Akal

Bandar Lampung, Kamis, 020409

Mengasah Hati, Mempertajam Akal

Oleh: Mohamad Istihori


"Mintalah fatwa kepada hatimu. Kebaikan adalah yang membuat hatimu tenang. Sedangkan keburukan membuat hati bimbang dan ragu." (HR. Ahmad)

Mintalah nasehat dengan hatimu. Hatimu itu sebenarnya sudah dianugerahkan oleh Allah suatu kecerdasan dan kelembutan agar kita bisa memfatwai diri sendiri.

Dalam suatu forum Kenduri Cinta Jakarta Emha Ainun Nadjib pernah menjelaskan bahwa fatwa itu sendiri berasal dari kata "Fata" yang artinya pemuda dan dewasa. Orang yang dewasa dalam khasanah ilmu fiqh disebut "aqil baligh".

Maka dalam konteks fatwa orang yang berfatwa itu adalah orang yang harus sudah akil balig. Akil baligh itu sendiri berarti orang yang berakal, yang dengan akalnya itu mampu sampai, mencapai, atau menggapai (balig, dari kata: "balagho-yub_lughu-fahuwa baalighun) suatu konteks kenyataan dan masalah kehidupan yang ia hadapi.

Jadi hanya orang yang sudah benar-benar akil baliglah yang mampu memfatwai dirinya sendiri. Sedangkan mereka yang belum akil balig, karena tidak memiliki tradisi dalam kehidupannya untuk mengasah akal dan melembutkan hatinya maka dia selalu menunggu disuapi fatwa dari orang lain.

Sedangkan orang yang lembut hatinya pasti akan merasa sangat menyesal kalau ia sampai melakukan dosa sekecil apapun. Semakin lembut hati seseorang semakin sensitif hatinya dalam menyeleksi perbuatan atau amal sehari-harinya.

Masalahnya adalah apakah dengan semakin selektifnya kita dalam melakukan suatu amal, akan semakin membatasi aktivitas sehari-hari kita? Apakah kelembutan hati itu membuat kita jadi merasa terpenjara?

Merasa semakin sedikit yang bisa kita lakukan? Karena semakin sedikitnya aktivitas hari ini yang mengasah kelembutan hati?

Dan, semakin banyaknya aktivitas yang justru menjadikan hati kita semakin tidak sensitif, tidak peka untuk menimbang antara halal dan haram, kurang cerdas alias jadi oneng untuk memperhitungkan antara yang baik dengan yang buruk, dan hati menjadi keras.

Jawabnya bisa iya, bisa tidak. Semua sangat bergantung dari konteks permasalah yang sedang kita hadapi. Apalagi dimensi kehidupan kini sangat luas dan kompleks.

Maka melembutkan hati dan mempertajam akal adalah satu-satunya cara agar kita bisa terus berpikir objektif dalam menilainya.

Rabu, 01 April 2009

Mencari Tulang Rusuk yang Hilang

Rabu, 010409

Mencari Tulang Rusuk yang Hilang

Oleh: Mohamad Istihori

Di manakah gerangan tulang rusukku yang hilang? Pencarian memang begitu melelahkan. Tapi aku sadar hal itu memang butuh kesabaran ekstra sebelum menemukan yang ku cari selama ini.

Al kisah ketika berada di taman seribu kenikmatan Adam merasa kesepian dan sendirian. Berapa pun nikmat yang ia terima dari Tuhan, beliau AS tetap merasa bahwa ada yang kurang, suasana anyep bagai sayur tanpa garam.

Adam pun memohon, "Ya Allah berikanlah aku teman kehidupan yang bisa mengusir aku dari kesepian ini."

Tuhan pun mengabulkan permohonan Adam. Maka diciptakanlah Hawa dari tulang rusuk sebelah kiri sebagai teman hidupnya. Maka bergembira dan berbunga-bungalah hati beliau ketika itu.

Tapi hubungan percintaan Adam dan Hawa "tidak berjalan mulus". Sebagaimana setiap hubungan manusia pada umumnya, Allah pasti menguji agar Ia "mengetahui" seberapa seriuskah kita dalam menjalin suatu hubungan.

Ujian pertama hubungan Adam-Hawa adalah ketika Adam sebagai suami tidak mampu mendidik istrinya sendiri untuk taat kepada Allah.

Maka mereka berdua pada akhirnya tergoda rayuan iblis untuk makan buah terlarang yang berdampak mereka diturunkan dari surga ke dunia.

Adam dan Hawa diturunkan terpisah dengan jarak yang sangat jauh. Namun dengan izin Allah mereka pun kemudian dipertemukan oleh Allah di Padang Arofah.

Kedua ketika salah satu anak lelakinya membunuh anak lelakinya yang lain karena cemburu buta, merasa diperlakukan tidak adil.

Kalau Hawa bukan istri yang sholehah maka ia pasti akan berkata, "Abangkan bukan ustadz, kiai, atau pemimpin spiritual ecek-ecek. Abang itu kan Nabi masa nggak becus sih mendidik anak sendiri?

Kalau nakal sebagai anak laki-laki yang lain sih nggak masalah. Ini sampe membunuh saudara kandungnya sendiri. Ini sih udah kebangetan bang!"

Tapi untungnya Hawa bukan saja cantik fisik, tapi dia juga wanita yang cantik jiwanya ("inner beauty"). Suatu hal yang sudah sangat jarang dimiliki wanita cantik masa kini.

Sehingga Hawa pun bersabar menghadapi semua permasalahan yang ia hadapai bersama dengan suaminya Adam.

Jadi yang punya masalah keluarga itu bukan kita sebagai manusia biasa saja. Tapi nabi dan rosul pun memiliki masalahnya sendiri dalam keluarga mereka.

Hanya rumah tangga yang berlandaskan cinta sejatilah yang mampu bertahan menghadapi semua permasalahan rumah tangga tersebut.

Yang cintanya penuh keraguan, main-main, "just for fun", dan penuh rasa keterpaksaan hanya menunggu waktu bubarannya saja.

Maka kira-kira siapakah tulang rusuk kita yang hilang itu? Kalau Adam sih udah jelas memiliki Hawa sebagai pendamping hidupnya.

Maka carilah jawaban itu dengan meminta petunjuk dari Allah bukan dari yang lainnya.

"Robbanaa hablanaa min azwaajinaa wa ming dzurriatinaa qurrota'ayun waj 'alnaa lil muttaqiina imamaa."

Wahai Zat Yang Maha Mengurusi hidup kami anugerahkanlah kami istri-istri dan anak-anak yang bisa menjadi hiasan pandangan kami, yang ngenakkin hati, yang nggak nge-BT-in. Dan, berikanlah kami pemimpin yang bertakwa.

Emang susah nyari orang yang bener-bener mau ngertiin kita. Yang banyak itu justru orang yang maunya cuma dimengerti tapi dia sendiri nggak mau mencoba mengerti perasaan kita.

Tulang rusuk, belahan jiwa, "soulmate", dan teman hidup kita itu adalah orang yang mau terbuka komunikasinya, saling belajar untuk memahami perasaan dan potensi sesama pasangan.

Bukan maunya menang sendiri aja! Itu mah egois namanya. Yang kayak gitu nggak pas untuk dijadiin teman hidup. Karena dia, sebagaimana Hawa, diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok dan mudah patah.

Jadi mending pisah daripada patah. Karena dia adalah makhluk yang "lemah".