Kamis, 02 April 2009

Mengasah Hati, Mempertajam Akal

Bandar Lampung, Kamis, 020409

Mengasah Hati, Mempertajam Akal

Oleh: Mohamad Istihori


"Mintalah fatwa kepada hatimu. Kebaikan adalah yang membuat hatimu tenang. Sedangkan keburukan membuat hati bimbang dan ragu." (HR. Ahmad)

Mintalah nasehat dengan hatimu. Hatimu itu sebenarnya sudah dianugerahkan oleh Allah suatu kecerdasan dan kelembutan agar kita bisa memfatwai diri sendiri.

Dalam suatu forum Kenduri Cinta Jakarta Emha Ainun Nadjib pernah menjelaskan bahwa fatwa itu sendiri berasal dari kata "Fata" yang artinya pemuda dan dewasa. Orang yang dewasa dalam khasanah ilmu fiqh disebut "aqil baligh".

Maka dalam konteks fatwa orang yang berfatwa itu adalah orang yang harus sudah akil balig. Akil baligh itu sendiri berarti orang yang berakal, yang dengan akalnya itu mampu sampai, mencapai, atau menggapai (balig, dari kata: "balagho-yub_lughu-fahuwa baalighun) suatu konteks kenyataan dan masalah kehidupan yang ia hadapi.

Jadi hanya orang yang sudah benar-benar akil baliglah yang mampu memfatwai dirinya sendiri. Sedangkan mereka yang belum akil balig, karena tidak memiliki tradisi dalam kehidupannya untuk mengasah akal dan melembutkan hatinya maka dia selalu menunggu disuapi fatwa dari orang lain.

Sedangkan orang yang lembut hatinya pasti akan merasa sangat menyesal kalau ia sampai melakukan dosa sekecil apapun. Semakin lembut hati seseorang semakin sensitif hatinya dalam menyeleksi perbuatan atau amal sehari-harinya.

Masalahnya adalah apakah dengan semakin selektifnya kita dalam melakukan suatu amal, akan semakin membatasi aktivitas sehari-hari kita? Apakah kelembutan hati itu membuat kita jadi merasa terpenjara?

Merasa semakin sedikit yang bisa kita lakukan? Karena semakin sedikitnya aktivitas hari ini yang mengasah kelembutan hati?

Dan, semakin banyaknya aktivitas yang justru menjadikan hati kita semakin tidak sensitif, tidak peka untuk menimbang antara halal dan haram, kurang cerdas alias jadi oneng untuk memperhitungkan antara yang baik dengan yang buruk, dan hati menjadi keras.

Jawabnya bisa iya, bisa tidak. Semua sangat bergantung dari konteks permasalah yang sedang kita hadapi. Apalagi dimensi kehidupan kini sangat luas dan kompleks.

Maka melembutkan hati dan mempertajam akal adalah satu-satunya cara agar kita bisa terus berpikir objektif dalam menilainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar