Jumat, 17 Juli 2009

Al Mar-atush Shoolihah

Kamis, 160709

Al Mar-atush Shoolihah

Oleh: Mohamad Istihori

(Diadaptasi dari Terapi Agama Ust. Fuad di Madani Mental Health Care Jakarta)

Mencari teman yang mau diajak susah itu jumlahnya seribu satu di dunia. Ibarat mencari jarum di padang pasir. Sangat sulit tapi bukan juga sesuatu yang mustahil sehingga kita berputus asa untuk terus-menerus belajar mencarinya.

Ia membutuhkan mental seorang pengembara yang pantang menyerah dan tak kenal lelah untuk menyusuri dan menempuh perjalanan panjang yang tak tahu akan berakhir di mana.

Tapi kalau mencari teman yang mau diajak senang-senang (nonton, makan, minum, jalan-jalan, main PS, belanja, dugem, main atau mendengarkan musik, dan karokean) sangatlah mudah. Kita dengan sangat gampang mengajak siapa saja orang yang bertemu dengan kita di jalan untuk senang-senang.

"Lah iyalah. Secara gitu loh! Siapa sih orang yang nggak mau diajak bersenang-senang?" ujar seseorang melakukan pembelaan diri.

Istri yang kita gauli setiap malam saja belum tentu mau diajak susah.

"Yang penting gua senang. Jatah belanja gua selama sebulan tercukupi. Kosmetik dibeliin. Kendaraan dilengkapin. 'Dihajiin'. Gua nggak peduli dan nggak mau tahu bagaimana suami gua cari uang. Halal atau haram.

Yang penting dapur ngebul dan anak-anak sekolah di sekolah yang elit kalau perlu sekolah ke luar negeri sekalian. Meski uang itu didapat suami gua dari hasil korupsi tapi bagi gua itu lebih mulia daripada hidup susah dan miskin.

Bagi gua hidup miskin adalah kehinaan. Maka gua halalkan segala macam cara untuk mencapai puncak kekayaan. Emang siapa sih yang mau diajak susah? Gua kan lulusan perguruan tinggi masa kalah tajir sama tetangga gua yang sekolah aja nggak?" demikian ujar seorang istri yang tidak mau diajak hidup susah dengan suaminya sendiri.

Suami kayak gini paling pas main film "Suami-suami Takut Istri"(SSTI). Gambaran suami yang tidak mampu mendidik istrinya sehingga si istri terus-menerus meyakini prinsip bahwa lebih mulia hidup jadi orang kaya meski memperoleh harta dengan cara yang haram (dari hasil korupsi, menipu, merampok, menyakiti orang lain, berbohong, atau memanfaatkan orang lain untuk memperkaya diri sendiri) daripada hidup miskin dengan harta yang halal.

"Iya tentu saja semua orang maunya hidup senang. Masalahnya adalah apakah kita mau menerima dengan lapang dada dan tetap setia menemani pasangan kita saat hidup susah dan miskin?" ujar suami sambil mengambil nafas panjang yang menggambarkan betapa lelah hidupnya karena meski punya istri tapi dia belum menemukan teman sejati.

Maka dalam Islam ukuran wanita sebagai sebaik-baiknya perhiasan dunia bukan terutama karena kecantikkannya, kepandaiannya, intelektualitasnya, keturunannya, prestasinya, karirnya, pekerjaannya, dan profesinya. Namun yang menjadikan seorang wanita sebaik-baiknya perhiasan dunia adalah kesholehahannya.

Istri yang sholehah adalah istri yang bisa menempatkan kapan dia bisa bersikap sebagai ibu dari anak-anaknya, kapan dia bisa bersikap sebgaia istri, kapan dia bersikap sebagai teman kehidupan, partner belajar, dan teman diskusi yang saling mengisi kelemahan dan kekurangan bukan malah saling menyalahkan dan menjatuhkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar