Rabu, 29 Juli 2009

Mahalnya Harga Sebuah Kepercayaan

Rabu, 29 Juli 2009

Mahalnya Harga Sebuah Kepercayaan

Oleh: Mohamad Istihori

Dalam menjalin hubungan cinta atau silaturahmi ada pola cinta segi tiga antara aku, kita (orang yang aku cintai baik dalam konsep cinta rohman ataupun cinta rohim), dan Tuhan.

Ketika aku menjalin hubungan dan berkomitmen untuk setia maka konsep cinta segi tiga berlaku dengan maksud aku dan kita (cinta rohman atau cinta sosial aku dengan siapa saja, dengan semua manusia, cinta dalam makna yang seluas-luasnya) maka aku tidak akan berani menyakiti cinta rohmanku karena aku tahu bahwa Tuhan tidak suka itu.

Demikian juga pasangan cinta rohmanku dijamin tidak akan menzalimiku karena Tuhan akan mengazab masyarakat yang menyakiti setiap individu.

Hal ini juga berlaku ketika aku dengan pasangan cinta rohimku (cinta khusus, cinta spesial, atau cinta individual). Aku percaya di mana pun cinta rohimku berada dia tidak akan mendua, tidak akan mendusta karena aku tahu bahwa ia juga punya Tuhan yang memantau setiap gerak-gerik dan langkahnya ketika dia tidak sedang bersama denganku.

Pun begitu dengan aku. Aku juga harus sangat belajar untuk tetap care dan setia padanya karena meski cinta rohimku tidak tahu apa yang aku kerjakan ketika tidak bersama dengannya tapi selalu ada Tuhan di mana pun aku hadapkan wajahku.

Maka rasa saling percaya itu bukan karena kita sudah tahu. Sehingga seorang sahabat pernah berkata pada saya, "Gua nggak akan percaya sama dia kecuali gua udah tahu siapa dia sebenarnya."

Maka ku katakan padanya, "Kalau kita sudah tahu buat apa kita percaya. Iman atau rasa percaya itu justru dibutuhkan saat kita tidak tahu. Misalnya ketika seorang istri tidak tahu apa saja yang dikerjakan suaminya yang sedang pergi ke luar kota maka di situlah dia harus percaya kepada suaminya."

Suami yang dipercaya istrinya akan tenang bekerja daripada kalau dia selalu dicurigai saat dinas ke luar kota. Harga sebuah kepercayaan itu sangat mahal. Maka jangan sekali-kali menyelewengkan kepercayaan yang sudah kita dapatkan justru untuk menyakiti perasaan orang yang sudah seratus persen mempercayai kita.

Contoh lain orang yang menyalahgunakan kepercayaan adalah seorang anak yang terjerumus ke dalam lembah nista Naza atau orang awam menyebutnya dengan istilah nakotika atau narkoba.

Dulu, sebelum ketahuan orang tua si anak kan minta apa aja dikasih. Minta mobil dikasih, mau kuliah ke luar negeri diturutin, mau kos yang mewah diiyain sama orang tuanya. Eh ternyata anaknya malah menyalahgunakan kepercayaan orang tuanya yang nun jauh di sana, yang tidak tahu apa saja yang dikerjakan anaknya.

Ketika orang tua tahu bahwa anaknya adalah seorang pemakai ("Junkie") maka hancur leburlah kepercayaan orang tua kepada anak yang dulu ia cintai itu. Sekarang orang tua merasa sangat kecewa karena anaknya nggak tahu diri. Di kuliahin ke luar negeri biar pinter, pandai, cerdas, dan sholeh eh malah terlibat "lingkaran setan Naza".

Ketika itu orang tua pun dipastikan akan mengubah sikapnya kepada anak. Orang tua akan cenderung lebih protektif,bahkan over protectif, ketat waktu, disiplin peraturan, dan jadi nuntut ini-itu. Anak yang tidak tahu diri, nggak mau kunjung introspeksi, enggan muhasabah atau evaluasi diri pasti akan merasa terkekang, dan merasa tidak disayang.

Nah kalau tidak ada pihak penengah yang mampu memahami keadaan dan situasi seperti ini maka benturan antara orang tua dan anak sudah dipastikan tidak akan bisa dihentikan lagi.

Ia ibarat bom waktu yang siap meledak kapan saja tanpa ada pihak yang benar-benar bisa mengetahui kapan persisnya "bom waktu ketegangan" antara anak dengan orang tua itu meledak. Na'udzubillahi min dzaalik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar