Sabtu, 04 Juli 2009

Tuhan Engkau Dikucilkan

Bandar Lampungg, Kamis, 020709

Tuhan Engkau Dikucilkan

Oleh: Mohamad Istihori

Sungguh sebuah kejadian yang sangat miris dan menyedihkan. Dalam sebuah pusat perbelanjaan, sebuah mushollah dihancurkan, tempat karokean pun didirikan. Dalam alam pemikiran orang sekarang mendirikan mushollah tidak akan mendatangkan keuntungan. Lebih menggiurkan kalau mendirikan tempat karokean atau tempat hiburan.

Mushollah tempat kami menyembah kini telah pindah ke basement. Ruangannya sangat sempit. Hanya mampu menampung maksimal satu imam dan enam makmum. Setiap yang sholat di situ pasti akan merasa tidak nyaman. Selain karena tempatnya kini berada tepat di sebelah parkiran sehingga berisik, kami pun merasa sangat kegerahan, kepanasan, dan yang pastinya keringetan. Belum lagi bau aroma toilet yang sangat menyengat.

Kalau pada suatu hari anda diberi anugerah oleh Tuhan untuk berkunjung ke tempat tinggal saudara-saudara kita yang ada di desa sana. Maka perhatikanlah mushollah dan masjid di sana. Saudara-saudara kita yang di desa, sebagaimana yang kerap saya jumpai di beberapa daerah, meski pendapatan mereka sudah pasti tidak lebih besar daripada pendapatan kita yang tinggal di kota namun kampung mereka ada mushollah atau masjid yang layak, nyaman, dan indah.

Setiap pagi dan sore penduduknya meramaikan dengan segala aktivitas ibadah dengan penuh kekhusyuan dan tanpa pamrih apa-apa. Tidak seperti tempat ibadah kita di kota yang penuhnya hanya ketika Ramadhan saja. Begitu Ramadhan berlalu masjid dan mushollah pun sepi kembali kayak kuburan. Yang datang paling-paling aki-aki sama nini-nini. Sedangkan yang mudanya? Entah iya pada ke mana?

Sebagian berkata, “Kita masih muda masa udah sibuk di mushollah? Nantilah kalo udah pensiun dan tua baru deh saya mau jadi pengurusnya.”

Dalam kehidupan manusia Tuhan begitu sering dikucilkan. Dianggap tidak penting. Kecuali ketika manusia membutuhkan demi reputasi diri, memperoleh jabatan/kekuasaan, kehormatan, atau saat menikah barulah ramai manusia meminta kepada Tuhan, berkunjung ke tempat-tempat ibadah yang mereka kira Tuhan hanya ada di sana, atau berkunjung ke beberapa rumah atau pondok pesantren kiai-kiai besar yang ada di daerah namun setelah mereka mendapat apa yang mereka cari lalu Pak Kiai ditinggalkan dan dilupakan begitu saja.

Untungnya Tuhan adalah Zat yang Maha Sabar sehingga pusat perbelanjaan itu tidak serta-merta Ia hancurkan. Tuhan begitu sayang kepada kita. Dia selalu memberi kesempatan kepada siapa saja dari hamba-Nya yang mau mendekat kepada-Nya.

Tuhan begitu sabarnya Engkau. Meski kami kucilkan, Kau tetap menyayangi kami, menyantuni kami, tak berkurang sedikit pun rizki Kau beri. Kami saja yang lupa mensyukuri.

Kami sungguh tak layak Kau sebut sebagai hamba-Mu (pengabdi-Mu). Derajat kami masihlah pedagang. Yang menjalin hubungan berdasarkan selera, untung-rugi, enak-nggak enak, dan suka-tak suka.

Atau level keislaman kami masih level budak yang menjalankan segala perintah-Mu dan menjauhi segala larangan-Mu hanya berdasarkan rasa takut kami akan siksa-Mu di dunia dan apalagi di akhirat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar