Senin, 04 Mei 2009

Cape Hati Sampai Mati

Ahad, 030509

Cape Hati Sampai Mati

Oleh: Mohamad Istihori

Hati manusia tidak pernah berdusta, ia sangat jujur dan amat apa adanya. Tidak mungkin kan hati memerintahkan kita untuk melakukan dosa, fitnah, selingkuh, mabuk, judi, membunuh, atau perilaku menyimpang lainnya?

Jangan sekali-kali kau bohongi hatimu sendiri. Karena kau akan menyesal seumur hidup. Kalau hati kita kekang, penjara, atau pasung maka ia akan teriak dan meronta-ronta membuat jiwa sengsara dan merana.

Lebih baik manakah, badan capek, terasa ngilu, dan pegal-pegal karena berjuang membela keyakinan hati kita atau kita biarkan hati kita yang tersiksa dan merana hanya karena mengejar kebutuhan badan, fisik, atau materi?

Bolehlah para pejuang itu dipenjara fisiknya, bahkan disiksa, kuku mereka dicabuti, bahkan sampai ada yang dibunuh dengan cara-cara yang sangat tidak manusiawi. Namun mereka merasa bahagia dan lapang dada menerima semua siksa badaniah tersebut.

Loh kok bisa?

Iya bisa lah! Karena itu semua mereka lakukan dan terima sebagai sebuah konsekuensi untuk memenuhi panggilan hatinya.

Sangat berbeda tentunya dengan manusia atau kita zaman sekarang. Kita merasa "fine-fine" saja dan rela batin merasa tersiksa atau hati terpenjara hanya karena tidak mampu benar-benar mendengar panggilan hati.

Hati kita mungkin berkata, "Ya fulan ta'al! Ya fulan ta'al! Hai fulan ke sini! Hai Mr. X kemari!" Hati memanggil-manggil kita dengan mesra. Namun panggilannya kita acuhkan demi mengejar prestasi-prestasi duniawi yang kita mimpi-mimpikan selama ini: entah itu rumah, mobil, harta yang berlimpah, uang yang numpuk di mana-mana, atau perhiasan yang berkilauan menyilaukan mata.

Allah berfirman: "Alaa bidzikrillahi tathmainnul quluub." "Ketahuilah hanya dengan 'dzikrullah'-lah hatimu akan tenang."

Apa yang dimaksud dengan "dzikrullah"?

"Dzikrullah" bisa kita tafsirkan: menyebut atau menyatakan "asmaullah" (nama-nama Allah) secara berulang-ulang.

Mengapa harus berulang-ulang?

Tidak lain dan tidak bukan adalah agar "asma Allah" yang berjumlah 99 tersebut benar-benar terhujam dan tertanam dalam hati kita. Artinya hanya dengan menanamkan "asmaul husna"-lah hati kita akan tenang.

Apakah menyebut di sini hanya sekedar menyebut? Cuma sekedar berkata-kata?

Tidak! Rendra berkata: "Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata."

Maukah hati kita tenang? Maka laksanakan dan perjuangkanlah segala apa yang benar-benar menjadi panggilan hati kita.

Apapun pekerjaan kita, mau jadi tukang ojek, ustadz, polisi, PNS, atau presiden kalau itu kita perjuangkan sebagai sebuah panggilan hati maka permasalahan, problem, tantangan, dan kendala apapun yang kita hadapi tak kan surut melangkah ke belakang.

Tapi kalau kita bekerja semata-mata profesi bukan bekerja karena panggilan hati, maka "mood" kerja kita sangat tergantung gaji. Kalau digaji besar kita semangat, kalau gaji turun merosot pulalah kinerja kita.

Yang paling sengsara hatinya adalah orang yang bekerja bukan karena panggilan hati, bukan karena profesi (gaji) tapi bekerja karena terpaksa.

Yang namanya hati, baik itu kerja, menikah, dan sekolah atau kuliah kalau semua hal tersebut kita lakukan dengan terpaksa dan bertentangan dengan hati, itu sama saja menyiksa hati dan perasaan.

Sayangnya kita belum sungguh-sungguh untuk menumbuhkan minat melatih dan mengasah perasaan dan terus-menerus belajar menajamkan telinga batin untuk mendengarkan suara hati.

Kita begitu meremehkan segala sesuatu sehingga tidak mampu berempati dengan diri sendiri. Kalau terhadap diri sendiri saja kita tidak mampu berempati maka jangan harap kita memiliki hati lembut, sensitif, dan peka terhadap bagaimana perasaan orang lain.

Karena sebenarnya apa yang hati kita rasakan juga dirasakan oleh hati orang lain. Kalau kita nggak mau dibohongin, orang lain juga sama nggak mau dibohongin. Kalau kita nggak mau didustain, iya orang lain juga nggak mau lah didustain. Apalagi diduain.

Begitu seringnya kita bohongi diri sendiri sehingga hati kita tidak lagi memiliki sensitifitas. Maka ketika kita membohongi orang lain kita anggap itu merupakan suatu kewajaran, bukan merupakan suatu perbuatan dosa.

Satu kebohongan akan melahirkan kebohongan demi kebohongan yang lain. Berbohong merupakan salah satu penyebab hati kita tidak tenang dan membuat hidup grasak-grusuk.

Kalau bohong sudah berurat, berakar, dan mendarah daging maka hati kita tersiksa, merana, dan terus kecapean sampai ajal menjemput.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar