Selasa, 19 Mei 2009

Sadar dalam Sabar

Rabu, 200509

Sadar dalam Sabar

Oleh: Mohamad Istihori

Sabar kita selama ini ternyata tidak didampingi kesadaran bahwa sabar itu tidak memiliki batasan.

Setiap manusia patut bersabar sepanjang hidup, dalam setiap tarikan nafas, setiap detik, dan setiap saat hingga maut menjemput

Sabar bukan hanya milik orang sakit. Orang sehat juga harus sadar untuk sabar. Orang sakit mestinya memang bersabar mengikuti setiap tahap yang ditentukan oleh Allah untuk mencapai kesembuhan total.

Karena yang menyembuhkan orang sakit bukan dokter, psikiater, ustadz, dukun, obat, atau Ponari. Yang menyembuhkan orang sakit adalah Allah yang mungkin melalui pihak-pihak yang saya sebut tadi.

Orang sakit yang menganggap bahwa dokter adalah yang menyembuhkan penyakitnya akan kecewa ketika dokter tidak mampu menangani penyakitnya dan akan "menuhan-nuhankan" dokter ketika sakitnya sembuh.

Sabar juga adalah milik orang sehat. Orang sehat harus sabar menjaga kesehatannya. Kalau dari sekarang sewaktu sehat dia tidak belajar untuk sabar merawat kesehatan maka itu sama saja ia menyia-nyiakan hidup.

Sabar tidak pandang bulu. Dia adalah rumus yang berlaku pada orang miskin dan kaya, orang yang kerja atau penganggur, bujangan atau sudah menikah.

Sabar itu milik yang yang sudah punya anak sekaligus bisa diaplikasikan untuk orang yang belum juga memiliki momongan.

Jadi kalau ada orang berkata, "Sabar melulu? Kapan sembuhnya? Kapan sehatnya? Kapan kayanya? Kapan senangnya? Kapan enaknya? Kapan nikahnya? Kapan punya anaknya? Kapan nikah sama lelaki kaya raya? Kapan naik hajinya"

Itu berarti orang itu belum sadar bahwa dia belum sabar. "Sabar Mas, sabar!!" ujar Mat Semplur.

"Sabar, sabar. Saya sudah berobat ke sana-kemari tapi nggak sembuh-sembuh juga. Kamu mah enak nggak ngerasain bagaimana sakitnya saya sekarang."

Tuh kan. Emang selama ini sabarnya kita belum sadar sih. Jadi maunya ngeluh aja ngeluh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar